Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #3


Jari Manis


Hasil gambar untuk cincin pernikahan
“Lama tak jumpa. Bagaimana kabarmu, hem?” Hanif mencoba mengakrabkan diri denganku setelah bertahun-tahun tak saling temu pascawisuda. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap sepasang mata yang menyiratkan kesakitan tiada tara. Ini semua salahku. Seharusnya dulu.. ah, tidak. Tidak ada yang perlu disesali. Biarkan hidup ini mengalir. Seperti anak sungai yang terombang-ambing terbawa arus takdir.
Sebelum sempat aku menjawabnya, ia kembali membuka mulut, “A..aku—“ ujarnya terbata dengan tuntutan dalam jiwa. “M..maaf,”
“Untuk apa?”
“M..maaf telah membuatmu menunggu lama.” jawabnya cepat, secepat tengkukku berdiri tegak lurus menghadapnya. Sejenak, wajahku merona. Karena cepat atau lambat, aku yakin ia akan melamarku pagi ini. Sesuai janjinya yang ia buat dulu—ketika aku belum siap menjadi calon istrinya karena faktor umur.
Kudiamkan ia sebentar kemudian kutengadahkan sedikit kepalaku untuk melihat suasana di luar, awan tampak menghitam, pekat. Dan di saat dedaunan mulai berguguran melambai-lambai di atas tanah akibat terpaan angin, aku berdehem pelan. Sekadar mencairkan suasana yang mulai terasa hambar. Kami berdua tidak menyadari bahwa minuman yang kami pesan beberapa jam yang lalu telah mendingin seiring lambatnya waktu yang malas begerak menuju ke masa keabadian.
“Jadi?” kataku akhirnya—atau lebih tepatnya mencondong untuk mendapatkan sebuah kepastian. Hanif menatapku sendu. Lama. Dan parahnya, aku tidak tahu bahasa isyarat tubuh seorang manusia. Lalu, kuputuskan untuk diam, karena diam adalah emas, batinku cemas dan was-was.
“Kau masih ingat janjiku?” Hanif melontarkan pertanyaan balik kepadaku. Aku tersenyum hangat dan kujawab dengan hati berdebar, “Bagaimana aku bisa melupakan janjimu sementara aku di sini masih menunggumu, Nif?”
Kulirik mimik wajahnya sekilas dengan harapan bahwa ia juga masih ingat akan janji yang ia buat sendiri—ketika kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Namun sepertinya, harapanku memang hanya akan menjadi sebuah harapan belaka selamanya. Karena di wajahnya, tak kutemukan seulas senyum kebahagiaan yang memancarkan jawaban kepuasan.
Cepat-cepat kutepis prasangka buruk tentangnya. Karena aku yakin, Hanif adalah seorang Laki-laki yang jujur, taat agama, dan pastinya akan menepati janji di kala ia membuat janji.
Tiba-tiba, diangkatnya satu dari kedua tangannya. Aku tidak mengerti apa maksudnya ia melakukan adegan aneh ini. Tapi ia tak menggubris kepenasarananku. Ia tetap bergeming pada pendiriannya, seolah membiarkan waktu yang akan menjawabkan jawaban yang benar untukku.
            Tanpa aba-aba, kucerna—sekali lagi dengan baik-baik—apa maksud gerak-gerik yang dilakukannya secara tiba-tiba itu. Dan, tanpa kusadari sejak tadi, aku melupakan sesuatu. Yang membuat setiap detik menjadi lecutan keras di tubuhku. Yang membuat lidahku kelu dan diam membisu. Dan yang membuat hidupku tak sebergairah menit-menit yang lalu.
“Maaf.. Maaf.. maaf..” ia menangis di hadapanku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tapi kesamaan itu tiada berarti tatkala isi hati kami mengatakan hal yang tak sejalan. Ternyata, ia telah beristri. Jari manisnya terbingkai indah oleh bulatan besi yang di dalamnya terukir sebuah nama wanita—yang tak lain adalah istrinya—Emala Salsabila. []

Komentar

Unknown mengatakan…
It's very good ;;)

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...