My Destiny
Aku
tidak tahu sejak kapan aku berada disini—tempat di mana aku tak menemukan
seorang pun dalam hidupku. Terasa pengap dan sempit, membuat tubuhku tak dapat
bergerak leluasa. Hei, apa aku buta? Ataukah aku lumpuh? Tidak mungkin. Aku
masih bisa melihat dengan
jelas, bahkan aku juga bisa merasakan tangan halus yang membelai kakiku saat
kutendang-tendangkan jemariku.
Hmm, rasanya sungguh nyaman ketika
tangan halus itu terus membelai kakiku. Hingga aku tak menyadari pukul berapa
aku terlelap tidur tanpa mimpi indah. Dan, di saat pagi tiba, aku mendengar
suatu keributan kecil di luar ruangan.
“Sudahlah, ini demi kebaikanmu juga.
Apa perlu aku bersujud agar kau percaya padaku bahwa aku tidak sedang
bermain-main?”
“Sayang, apalah arti diriku dengan
seorang manusia mungil yang suatu saat akan menjadikanmu seorang Ayah?”
“Cukup, Sonia! Aku mohon. Kali ini
sa—“
“Ti..dak, Sayang.”
“Baiklah, terserah padamu. Aku tidak
akan memaksamu kembali. Karena kau akan tahu apa akibatnya jika kau masih
berusaha mempertahankannya. Ku harap kau tidak berpikir labil.”
Hei, hei, hei!
Ramai sekali disana? Aku memukulkan
telapak tanganku ke dinding. Berusaha mencari cahaya penerang dan berlari
keluar. Namun usahaku sia-sia. Ruangan ini benar-benar terkunci rapat. Dan
tanpa kuduga, tangan halus itu tiba-tiba kembali mengusapku lembut penuh kasih.
Ada apa sebenarnya? Lalu, eh—kenapa hatiku ikut bersedih ketika orang yang
menusapku bersedih?
***
“Halo, sayang! Bagaimana kabarmu
hari ini, hem?”
“...”
“Maafkan atas segala perbuatan kami
disini ya,”
"..."
“Aku tahu, kau merasa terganggu
di sana. Tapi tenanglah, aku akan bersamamu setiap waktu. Tidurlah, aku akan
menyanyikan sebuah lagu untukmu.. You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are
grey.. You never know, dear, how much I love you, Please don't take my sunshine
away..."
Astaga! Suara itu.. begitu indah
tiada banding. Terasa hangat dan sejuk dalam kalbu.
Jujur, aku sangat suka bila orang
ini mengajakku berbicara dan bernyanyi bersama. Entah mengapa, meskipun aku
tidak tahu siapa dia. Tapi aku berjanji dalam hati, suatu saat nanti, aku akan
membalas jasa-jasanya. Dan menghiburnya ketika ia merasa sedih.
"The other night, dear, as I said sleeping, I dream, I held you in my
hands.. I'll always love you and make you happy, If you will only stay the
same..."
***
Tidak terasa sudah delapan bulan aku berada di sini.
Di tempat gelap, pengap, dan hanya ada aku seorang diri tanpa teman.
Terperangkap hingga tak bisa merasakan udara bersih di luar. Ini sungguh penantian
yang paling panjang asal kau tahu. Bahkan akhir-akhir ini, tubuhku mulai
membesar dan tumbuh nyaris pada titik sempurna.
“Sangat disayangkan. Tidak ada cara
lain, Nyonya.” ujar laki-laki tua berambut putih. “Kenapa seperti itu? Kau kan
dokter? Apa belum cukup aku membayarmu sepuluh kali lipat?!” badanku mulai
terasa berguncang hebat tatkala seorang perempuan yang sering mengusapku itu
berdiri menggebrak meja.
“Kuharap kau mengerti. Ini bukan
soal finansial, tetapi nyawa. Sekali lagi kutegaskan, ini soal Nyawa. Pilihlah
di antara dua opsi yang sudah kurekomendasikan pada suamimu. Selamat malam.”
Dokter itu mengambil beberapa arsip penting kemudian meninggalkan seorang
perempuan di ruang kerjanya.
“Aku mohon padamu.. selamatkan
malaikat kecilku ini...” pintanya dengan tangisan yang ingin sekali kuusap
menggunakan punggung tanganku dan kukecup pipinya lembut. Tapi, apa daya?
Aku memang tidak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Tapi yang pasti, aku terlibat di setiap pertengkaran para manusia di sekelilingku. Seperti suatu hari, aku
pernah mendengarkan percakapan perempuan tua—Nenek—seperti ini, “Sudahlah Sonia,
turuti saja apa kata suamimu. Kau kan bisa memperbaikinya lagi. Ibu yakin itu.”
katanya, lalu mengambil napas panjang. “Apa kau tidak kasihan pada suamimu? Dia
masih membutuhkanmu. Dia butuh kasih sayang dan perhatianmu ketika ia merasa
penat berada di kantor seharian penuh.”
“Tapi, Ibu, Sonia sekarang berada
pada posisi dilema. Di mana Sonia tidak ingin membuangnya apalagi membunuhnya,
dan di sisi lain, Salma juga ingin membahagiakan suamiku sesuai janjiku
padanya—ketika pernikahan.”
Lihat! Perempuan itu pasti seorang
Ibu. Bagaimana tidak, Ia mengucapkan beberapa kalimat yang membuat naluriku
berkata bahwa ia bukan malaikat namun seorang Ibu yang berhati mulia bak
malaikat!
Ibu, ya, Ibu, aku tahu bagaimana
perasaannya dalam situasi sulit seperti ini. Ia mencoba mempertahankanku
meskipun ia tahu, nyawa akan membuatnya melayang. Jika dituntut untuk memilih,
aku akan berdoa supaya Tuhan tidak mengambil nyawa Ibuku dan juga aku. Karena
aku tidak bisa membayangkan jikalau Ibu meninggalkan kami—aku dan Ayah. Pasti
hari-hari kami akan terasa hampa dan selalu dirundung kesedihan.
***
Sekali lagi, Ibu mengajakku berbicara dengan mata yang
sayu. Aku takut, aku takut akan kehilangannya. “Ibu mencintaimu, Nak.” ujarnya
lirih. Aku menggeliat, menangis, dan mencoba untuk memeluk Ibu namun dokter
jahat itu melarangku.
Beberapa menit kemudian, lambaian
tangan kecilku mengiringi kepergian Ibu yang pergi semakin menjauh dari
pandanganku. Ternyata benar, apa yang kini aku takutkan, benar-benar terjadi
sungguhan. Dokter itu jahat. Mereka mengaku pintar namun kenapa mereka tidak
bisa menyelamatkan Ibuku?
Aku ingat beberapa menit yang lalu
ketika Ayah melantunkan suara adzan di telinga kananku dan suara iqamah di
telinga kiriku saat tubuhku masih berbalut cairan merah. Setalah itu, Ibu
menatapku dalam. Membelai kepalaku, dan.. oh, tidak! Ibu.. ibu mengembuskan
napas terakhirnya ketika sang dokter memungutku dari pangkuan Ibuku!
Tangisku pecah. Aku tidak peduli
pada laki-laki berbaju putih berlogo dokter di hadapanku. Mataku lebih tertarik
pada kepergian Ibu daripada laki-laki di hadapanku yang kini sedang menggendong
sekaligus memeriksa suhu tubuhku. Aku muak dengan apa yang sudah terjadi. Aku
benci semua orang yang berada di sini! Kenapa ibu meninggalkaku di saat aku ingin
mencium dan memeluknya? Bahkan disaat aku ingin menyanyikan sebuah lagu
perdamaian kesukaannya?
Apa inikah yang dinamakan sebuah bad destiny atau takdir yang buruk? Oh
tuhan, salah apa hingga aku harus menjalani takdirmu seperti ini?
Aku tidak percaya bagaimana Tuhan
merencanakan ini semua dengan begitu cepat. Tanpa sebuah kecupan, tanpa sebuah
pelukan. Oh, Ibu, biarkan kupeluk erat bayangmu di sini, bersama Ayah dan Nenek.
Ibu, dengarkan suara hatiku, bahwa kau memang tidak hidup di hidupku, tetapi
kau akan tetap hidup disini, Ibu. Di dalam hatiku. Selamanya. []
Komentar
www.gorigotri.blogspot.com