Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #8


My Destiny




Aku tidak tahu sejak kapan aku berada disini—tempat di mana aku tak menemukan seorang pun dalam hidupku. Terasa pengap dan sempit, membuat tubuhku tak dapat bergerak leluasa. Hei, apa aku buta? Ataukah aku lumpuh? Tidak mungkin. Aku masih bisa melihat dengan jelas, bahkan aku juga bisa merasakan tangan halus yang membelai kakiku saat kutendang-tendangkan jemariku.
            Hmm, rasanya sungguh nyaman ketika tangan halus itu terus membelai kakiku. Hingga aku tak menyadari pukul berapa aku terlelap tidur tanpa mimpi indah. Dan, di saat pagi tiba, aku mendengar suatu keributan kecil di luar ruangan.
            “Sudahlah, ini demi kebaikanmu juga. Apa perlu aku bersujud agar kau percaya padaku bahwa aku tidak sedang bermain-main?”
            “Sayang, apalah arti diriku dengan seorang manusia mungil yang suatu saat akan menjadikanmu seorang Ayah?”
            “Cukup, Sonia! Aku mohon. Kali ini sa—“
            “Ti..dak, Sayang.”
“Baiklah, terserah padamu. Aku tidak akan memaksamu kembali. Karena kau akan tahu apa akibatnya jika kau masih berusaha mempertahankannya. Ku harap kau tidak berpikir labil.”
Hei, hei, hei!
Ramai sekali disana? Aku memukulkan telapak tanganku ke dinding. Berusaha mencari cahaya penerang dan berlari keluar. Namun usahaku sia-sia. Ruangan ini benar-benar terkunci rapat. Dan tanpa kuduga, tangan halus itu tiba-tiba kembali mengusapku lembut penuh kasih. Ada apa sebenarnya? Lalu, eh—kenapa hatiku ikut bersedih ketika orang yang menusapku bersedih?

***

“Halo, sayang! Bagaimana kabarmu hari ini, hem?”
“...”
“Maafkan atas segala perbuatan kami disini ya,”
"..."
“Aku tahu, kau merasa terganggu di sana. Tapi tenanglah, aku akan bersamamu setiap waktu. Tidurlah, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu.. You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are grey.. You never know, dear, how much I love you, Please don't take my sunshine away..."
Astaga! Suara itu.. begitu indah tiada banding. Terasa hangat dan sejuk dalam kalbu.
Jujur, aku sangat suka bila orang ini mengajakku berbicara dan bernyanyi bersama. Entah mengapa, meskipun aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku berjanji dalam hati, suatu saat nanti, aku akan membalas jasa-jasanya. Dan menghiburnya ketika ia merasa sedih.
"The other night, dear, as I said sleeping, I dream, I held you in my hands.. I'll always love you and make you happy, If you will only stay the same..." 

***

Tidak terasa sudah delapan bulan aku berada di sini. Di tempat gelap, pengap, dan hanya ada aku seorang diri tanpa teman. Terperangkap hingga tak bisa merasakan udara bersih di luar. Ini sungguh penantian yang paling panjang asal kau tahu. Bahkan akhir-akhir ini, tubuhku mulai membesar dan tumbuh nyaris pada titik sempurna.
“Sangat disayangkan. Tidak ada cara lain, Nyonya.” ujar laki-laki tua berambut putih. “Kenapa seperti itu? Kau kan dokter? Apa belum cukup aku membayarmu sepuluh kali lipat?!” badanku mulai terasa berguncang hebat tatkala seorang perempuan yang sering mengusapku itu berdiri menggebrak meja.
“Kuharap kau mengerti. Ini bukan soal finansial, tetapi nyawa. Sekali lagi kutegaskan, ini soal Nyawa. Pilihlah di antara dua opsi yang sudah kurekomendasikan pada suamimu. Selamat malam.” Dokter itu mengambil beberapa arsip penting kemudian meninggalkan seorang perempuan di ruang kerjanya.
“Aku mohon padamu.. selamatkan malaikat kecilku ini...” pintanya dengan tangisan yang ingin sekali kuusap menggunakan punggung tanganku dan kukecup pipinya lembut. Tapi, apa daya?
Aku memang tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi yang pasti, aku terlibat di setiap pertengkaran para manusia di sekelilingku. Seperti suatu hari, aku pernah mendengarkan percakapan perempuan tua—Nenek—seperti ini, “Sudahlah Sonia, turuti saja apa kata suamimu. Kau kan bisa memperbaikinya lagi. Ibu yakin itu.” katanya, lalu mengambil napas panjang. “Apa kau tidak kasihan pada suamimu? Dia masih membutuhkanmu. Dia butuh kasih sayang dan perhatianmu ketika ia merasa penat berada di kantor seharian penuh.”
“Tapi, Ibu, Sonia sekarang berada pada posisi dilema. Di mana Sonia tidak ingin membuangnya apalagi membunuhnya, dan di sisi lain, Salma juga ingin membahagiakan suamiku sesuai janjiku padanya—ketika pernikahan.”
Lihat! Perempuan itu pasti seorang Ibu. Bagaimana tidak, Ia mengucapkan beberapa kalimat yang membuat naluriku berkata bahwa ia bukan malaikat namun seorang Ibu yang berhati mulia bak malaikat!
Ibu, ya, Ibu, aku tahu bagaimana perasaannya dalam situasi sulit seperti ini. Ia mencoba mempertahankanku meskipun ia tahu, nyawa akan membuatnya melayang. Jika dituntut untuk memilih, aku akan berdoa supaya Tuhan tidak mengambil nyawa Ibuku dan juga aku. Karena aku tidak bisa membayangkan jikalau Ibu meninggalkan kami—aku dan Ayah. Pasti hari-hari kami akan terasa hampa dan selalu dirundung kesedihan.

***

Sekali lagi, Ibu mengajakku berbicara dengan mata yang sayu. Aku takut, aku takut akan kehilangannya. “Ibu mencintaimu, Nak.” ujarnya lirih. Aku menggeliat, menangis, dan mencoba untuk memeluk Ibu namun dokter jahat itu melarangku.
Beberapa menit kemudian, lambaian tangan kecilku mengiringi kepergian Ibu yang pergi semakin menjauh dari pandanganku. Ternyata benar, apa yang kini aku takutkan, benar-benar terjadi sungguhan. Dokter itu jahat. Mereka mengaku pintar namun kenapa mereka tidak bisa menyelamatkan Ibuku?
Aku ingat beberapa menit yang lalu ketika Ayah melantunkan suara adzan di telinga kananku dan suara iqamah di telinga kiriku saat tubuhku masih berbalut cairan merah. Setalah itu, Ibu menatapku dalam. Membelai kepalaku, dan.. oh, tidak! Ibu.. ibu mengembuskan napas terakhirnya ketika sang dokter memungutku dari pangkuan Ibuku!
Tangisku pecah. Aku tidak peduli pada laki-laki berbaju putih berlogo dokter di hadapanku. Mataku lebih tertarik pada kepergian Ibu daripada laki-laki di hadapanku yang kini sedang menggendong sekaligus memeriksa suhu tubuhku. Aku muak dengan apa yang sudah terjadi. Aku benci semua orang yang berada di sini! Kenapa ibu meninggalkaku di saat aku ingin mencium dan memeluknya? Bahkan disaat aku ingin menyanyikan sebuah lagu perdamaian kesukaannya?
Apa inikah yang dinamakan sebuah bad destiny atau takdir yang buruk? Oh tuhan, salah apa hingga aku harus menjalani takdirmu seperti ini?
Aku tidak percaya bagaimana Tuhan merencanakan ini semua dengan begitu cepat. Tanpa sebuah kecupan, tanpa sebuah pelukan. Oh, Ibu, biarkan kupeluk erat bayangmu di sini, bersama Ayah dan Nenek. Ibu, dengarkan suara hatiku, bahwa kau memang tidak hidup di hidupku, tetapi kau akan tetap hidup disini, Ibu. Di dalam hatiku. Selamanya. []

Komentar

Unknown mengatakan…
Keren...

www.gorigotri.blogspot.com
Ily mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...