Meniti Jalan Illahi
Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa.
Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh
hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba.
Ya,
ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New
York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk
mencari
jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa
badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini, pikiran gadis itu hanya
tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Amerika. Ia ingin
segera cepat bertemu. Karena kali terakhir gadis itu melihat kakaknya adalah
ketika ia masih berumur lima tahun. Dan tentunya, ketika masalah masih belum memporak-porandakan
hidupnya.
Ia lalu berjalan pelan sambil menarik
sebuah koper berukuran besar dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menggenggam erat secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat apartemen. Ia berharap tidak terlalu malam sampai di sana. Tetapi tiba-tiba, sebutir salju terjatuh mengenai wajahnya. Sedikit demi
sedikit, kemudian bertambah deras. Ia pun tersenyum kecil dan tak sedikitpun
menampakkan wajah kepanikan.
“Kau benar, Sam. Musim salju
menyambutku dengan begitu indah. Terima kasih telah menasihatiku,” gumamnya pelan
disertai derap langkah kaki yang semakin cepat.
***
Pagi
ini, Samuel menyibukkan diri dengan melayani Annesia, adik tersayangnya yang
jauh-jauh datang dari Prancis.
Rasa rindunya yang meletup-letup sejak dahulu, pun membuat ia mengambil keputusan untuk cuti kerja beberapa hari. Bukan, bukan ia
tak sayang meninggalkan Anne sendirian di kota Paris tapi, ia merasa dirinya juga butuh
waktu 'personal' untuk menenangkan hati. Tentang kedua orangtuanya yang tak sekeyakinan dan tentang segalanya yang berubah dengan begitu cepat.
“Mesir,
Turki, Arab, itu adalah beberapa negara yang aku rekomendasikan untukmu, Anne.”
Samuel mencoba mengambil topik hangat ketika mengempaskan tubuhnya di sofa.
Hawa dingin masih terasa meski selimut sutra membalut tubuhnya.
Anne
mengerutkan kening. Ditutupnya majalah teenagers yang ia baca lalu memandang tajam
pada Samuel. “Mencari jati diri tidak harus di negara-negara Islam kan, Kak? Tell me, what’s wrong with America?”
“It’s so dangerous. You must be careful.”
“So,
how about you? Kau sendiri tinggal di sini! Lagi pula, Amerika bukan alasan
untuk berhenti mencari kebenaran, kan? Well,
aku akan membuktikan aku pasti bisa menemukan apa yang aku cari.” balasnya
ketus, kemudian berlalu meninggalkan Kakaknya yang menatapnya khawatir.
Samuel mengembuskan napas berat. Ia
tak begitu yakin Anne dapat berubah menjadi lebih baik dengan menjadi imigran
di Amerika. “Let’s see.” katanya
lirih namun menyiratkan sebuah harapan.
Setelah
bercakap singkat dengan Samuel, Anne memutuskan untuk menyiapkan diri menuju NY
Public Library. Dengan bermodal keberanian dan sepeda kayuh Samuel, sampailah
ia di gedung yang mahabesar itu. Di
sanalah Anne memutuskan menghabiskan waktu senggangnya. Bergelut dengan
lembaran abjad-abjad yang sulit dimengerti olehnya. Terutama pada bagian buku
yang membahas tentang eksistensi
Tuhan dan agama yang diwahyukan.
Namun, meski ia telah berjam-jam
bergelut dengan tumpukan buku-buku yang diambilnya dari rak, tak satu pun buku
yang ia cari ia temukan. Rasa lelah seketika tampak di wajah manisnya. Peluh
keringat tergambar jelas di bola matanya. Tapi itu semua tak menyurutkan
semangat Anne untuk terus mencari apa yang ia ingin ketahui.
Ia
kembali berjalan mencari sebuah buku yang telah direkomendasikan oleh guru
besarnya di tanah kelahiran. Sebuah buku yang sangat langka ditemukan di negara
bagian mana pun. “Who Am I by Marison DC,
dimana buku itu?“ gumamnya lirih.
“Oh,
Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa sesuatu yang dapat kuyakini dan
kupegang teguh dalam hidupku? Who Am I.. Who Am I..” jemari lentiknya masih terus berkutat meneliti setiap buku dari
rak paling atas hingga rak paling bawah.
Tak disangkanya, seorang pemuda yang
berada tepat di sampingnya menoleh sekilas, menampakkan mimik keheranan. Seolah
mempertanyakan apa maksud dari perkataan si gadis berkacamata tanpa kerudung itu.
Awalnya pemuda itu ragu apakah ia harus mengatakan
sesuatu atau hanya diam tak mempedulikan. Tapi akhirnya, sebaris kalimat meluncur
bebas tanpa ia duga. “Em, ma, maaf, aku tadi tidak sengaja mendengar kau mencari buku Who Am
I. Apakah ini buku yang kau cari?” sebelum menutup bukunya, pemuda itu
melipat kecil halaman yang sedang ia baca. “Benarkah? Kau bisa melihatnya
sebentar.”
Anne melihat pemuda itu dengan
tatapan salah tingkah, tapi perlahan, matanya bergerak turun pada buku yang
ternyata benar—itu adalah buku yang dicarinya selama beberapa jam yang lalu. Who
Am I karya Marison DC.
Pantas saja dari
tadi kucari tidak kutemukan! Tapi omong-omong, bagaimana caranya agar aku bisa berguru pada
Marison secara langsung? Dengan buku saja kurasa tak cukup. Oh Tuhan, pertemukanlah aku
dengannya, suatu saat nanti... batin Anne.
Seketika wajah Anne diliputi
keceriaan. Bibirnya tersenyum, tangannya membolak-balik lembaran demi lembaran
lalu berkata, “Ya, buku ini adalah buku yang kucari! Tapi sayangnya, kau telah meminjamnya lebih
dulu.” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan ke orang di sampingnya.
Pemuda itu tersenyum simpul. Matanya
ikut melihat apa yang sedang dibaca gadis itu. “Agama dalam kehidupan seorang
atheis..? Jadi, apa sebenarnya yang kau cari dari buku ini?” pemuda itu
mengambil topik pembicaraan untuk mencairkan suasana.
“Sesuatu yang akan mengubah jalan
pikirku.”
“Terdengar begitu mistis.” Pemuda
itu tertawa sumbang. Lalu, “Apakah kau seorang Muslim, Christian, Khatolik, Sunni,
Yahudi, atau.. apa?”
“Bukan semuanya.”
Pemuda itu sedikit terperanjat. “Lalu?”
“Atheis.” jawab gadis itu seolah tak
ada beban, ketakutan, dan kekhawatiran. Membuat bulu roma sang penanya seketika
menegang. “A..atheis? Kau—? Se..sejak kapan?” pemuda itu bertanya terbata. Alis
tebalnya saling bertaut membentuk garis horizon. Otak kirinya dengan cepat
mengirim sinyal untuk melakukan sesuatu.
“Mm..
maksudku—maaf, sebelumnya perkenalkan, aku Dyrevan Carl. You can call me Carl.” ujarnya sambil mengatupkan tangan di depan
dada. Matanya yang tanpa sengaja berpapasan dengan mata milik Anne, dengan
cepat dialihkannya. Anne terdiam sejenak sebelum kemudian ia memperkenalkan
diri seperti yang dilakukan Carl.
“Kau
sendiri bagaimana?” tanya Anne, tanpa merasa kikuk.
“Alhamdulillah, aku seorang mualaf
yang enam tahun lalu baru berpindah ke agama Islam. Kau tahu? Ternyata Islam
tidak seburuk apa yang aku pikirkan. Dan atas bantuan Kakek pula, aku banyak belajar
tentang kebesaran Tuhan, kesempurnaan Tuhan, keberadaan Tuhan, dan masih banyak
lagi.” Carl mengambil jeda untuk melanjutkan.
Tapi tiba-tiba, pertanyaan konyol meluncur
bebas dari mulut Anne. “Jadi, Tuhanmu juga mempunyai rumah? Di mana? Apa kau
dapat melihat rupanya? Lalu, sekarang Tuhanmu sedang apa? Ah, sejak dulu, aku
rindu pada Tuhan..”
Carl melihat Anne yang sedang memandangnya
dengan serius. Ingin rasanya saat itu pula, Carl tertawa. Tapi diurungkannya
karena ia takut menyinggung perasaan gadis yang belum lama ia kenal itu. “Oh,
tentu saja. Rumah-Nya selalu ramai dikunjungi umat muslim sedunia tiap
tahunnya. Rupa-Nya begitu indah hingga aku tak bisa melihat-Nya. Seorang Nabi yang
bersih saja tak mampu apalagi aku yang hanya seorang manusia? Bahkan yang dulu gemar
melakukan dosa dan maksiat. Dan sekarang, Dia sedang melihat kau dan aku
bercakap di perpustakaan ini.”
“Sepertinya, aku tertarik pada
Tuhanmu...”
“Tenang saja, kau dapat menanyakan
apapun padaku setelah ini. Tapi, tunggu. Agama apa yang akan kau yakini, hem?” Carl
melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tajam menembus akal pikiran
seorang gadis yang ternyata tak bertuhan itu.
Anne kembali terdiam merasakan
sengatan kekakuan yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Lalu, agama apa yang akan kau yakini? kalimat itu terus menggema di
gendang telinganya. Ia tidak tahu harus berkata apa karena sampai saat ini ia bahkan
masih belum menemukan agama yang cocok untuk dirinya sendiri. Namun, ia tidak
ingin terlihat bodoh di depan laki-laki bijak bernama Carl itu.
“Mu, mu, mungkin Islam. Tapi, aku masih
butuh waktu untuk meyakinkan hatiku lagi. Dan buku inilah yang direkomendasikan
guru besarku. Boleh kupinjam setelah kau kembalikan buku ini?”
Carl mendengar dengan penuh saksama.
Lalu ia bergeming memikirkan sesuatu. Tanpa disadari, bibir busur panahnya
melengkung ke bawah. Tangannya mengelus dagunya berulangkali. Entah, apa yang
kini sedang bersarang di otaknya.
Anne
yang diacuhkan hanya bisa diam dan menunggu.
“Oh,
kebetulan sekali. Aku sedang membuat skripsi untuk tugas akhir kuliah. Kau bisa
membantuku? Kau akan kujadikan narasumber dalam penelitian yang kubuat.” Carl akhirnya
menanggapi dengan mengalihkan pembicaraan. Ia lupa belum menjawab pertanyaan Anne
beberapa detik yang lalu.
“Tentang kehidupan seorang atheis?” Anne
balik bertanya.
Carl
mengangguk mantap. “Kalau kau tidak keberatan.”
Gadis
itu terlihat menimbang-nimbang tawaran Carl. Sebelum akhirnya ia memutuskan, “Deal.”
“Thank you, Annesia.” Carl tersenyum.
Hatinya bersorak gembira. Entah kegembiraan karena bertemu lagi dengan gadis
itu atau kerena ia menemukan orang yang tepat untuk dijadikan narasumber dalam
penelitian gelar sarjana mudanya.
Carl
menatap jam yang menempel di pergelangan tangannya. Ia melihat jarum pendeknya
berdiam tepat di angka dua belas. “Sudah jam Dzuhur, sampai bertemu di Taman Kota
besok pagi. Kau tenang saja, buku ini akan kembali cepat. Kalau kau butuh
sesuatu, kau dapat menghubungiku.”
Carl
merogoh saku celananya dan memberi secarik kertas berisi alamat dan nomor
telepon. Anne menerimanya dengan tangan terbuka. “Well, see you tomorrow, Annesia! Assalam—maksudku, bye!”
Anne tak menjawab. Namun senyum
ramah itu mampu menggantikan salam perpisahan. Matanya masih terus mengekor
pada buku di tangan Carl. Ia tak sabar untuk menjadi wanita normal seperti
teman sebayanya—yang mempunyai Tuhan untuk disembah, merendahkan diri, dan tempat
untuk berkeluh kesah.
Aku
tidak ingin waktuku terbuang dengan percuma. Aku butuh Tuhan. Aku ingin
mengabdikan seluruh sisa hidupku untuk bertaubat dan berjalan di atas
ridho-Nya..
***
Salah satu kamar apartemen NYC
tampak lebih berisik dari biasanya. Kamar itu dihuni oleh dua makhluk yang memutuskan
untuk menonton film K-movie; A Long Visit My Mom.
“Lihat
wajahmu, sudah
semerah tomat.” kata Samuel meledek. “Terakhir kali aku
melihatmu menangis, kau masih berumur tiga tahunan. Saat aku mencoba untuk merebut
boneka barbie-mu.” tambahnya cepat.
“Ah,
kau ini! Aku tidak menangis. Aku hanya teringat pada Ibu.” Anne memukul pelan
lengan Kakaknya menggunakan bantal. Ia berusaha tertawa tapi yang terdengar malah
isakan tangis yang ironis.
“Sudah,
tak usah mengelak. Kau hanya tertipu oleh akting mereka.”
“Laki-laki
memang berhati baja!”
Samuel
tertawa lepas. Dalam hati ia berkata, tentu
saja, adikku sayang! karena itulah laki-laki diciptakan Tuhan untuk mengayomi
para wanita yang begitu lemah..
Perlahan tapi pasti, bening kristal lembut
itu masih deras mengalir bak anak sungai. Seolah ingin menumpahkan
segala resah, gadis itu membiarkannya mengering. Tak digubrisnya segala
kepenatan dalam jiwa, ia hanya ingin hidup damai tanpa terbebani masa lalu.
Anne
kemudian memiringkan kepalanya menatap Samuel. “Sam, Ini malam Minggu, kau
tidak ada rencana mengajakku makan malam di luar?” Meski sedikit terdengar parau,
Samuel mengerti apa yang tengah dirasakan adiknya itu.
“Di luar dingin, Anne. Bagaimana
dengan segelas kopi hangat? Kopi ini diimpor langsung dari Asia Tenggara, kau
pasti menyukainya. Kita juga bisa menikmati indahnya kota New York di balkon
depan sambil bercerita tentang apa pun yang kau suka.” terangnya sambil beranjak
menuju dapur.
Anne hanya mendengar penuh antusias
dan merespon dengan anggukan tak bergairah.
***
Langit
Minggu pagi yang begitu cerah, membuat seluruh insan menyadari keagungan Tuhan.
Di mana ciptaan Tuhan sungguhlah tak dapat diragukan. Berbagai keindahan pun terpantul
dari lingkaran dunia. Mesir dengan pesona Piramid Gizanya, Prancis dengan ikon Menara
Eiffelnya, Indonesia dengan candi-candinya; semua tampak indah memukau mata.
Dari arah selatan, seorang gadis
mengayuh sepeda dengan bersiul. Jiwanya seolah terbang merasakan alunan melodi yang
memanggilnya tenang. Disela-sela siulannya, pikiran gadis itu ternyata melayang jauh
menembus singgasana para dewa. Tiba-tiba bibirnya tersungging tatkala melihat
seorang pemuda yang sedang duduk santai di tepi Taman Kota.
Carl yang menyadari kedatangan Anne,
segera beridiri memperbaiki penampilan. Setelah dirasa cukup, Carl menyiapkan
beberapa obrolan, pertanyaan, tape
recorder, dan buku Who Am I—tentunya.
Meski Carl bertempat di negara yang
minoritas Islam, Carl masih bisa menjaga jarak. Ia tahu bahwa Islam melarang
dua manusia yang tak ber-mahram saling menyendiri. Tapi kali ini, Taman Kota semakin
ramai dikunjungi. Menurunlah tingkat kekhawatiran Carl.
Sedikit
lagi, gelar Sarjana Muda akan direngkuhnya. Ia tersenyum dalam hati mengingat
hal itu. Ia beruntung bertemu Anne. Inilah kiriman dari Allah yang begitu
berharga baginya. Tapi, bukan soal skripsi saja Anne menjadi berharga di
hidupnya. Tapi karena—sejak dulu—dalam lubuk hati pemuda itu, ia menyimpan
teguh harapannya untuk dapat mengislamkan seseorang. Dan nalurinya berkata, Anne
lah satu-satunya orang yang tanpa sengaja mengetuk ruang hidupnya.
Untuk beberapa saat, mereka terlihat
seperti saudara lama yang tak pernah jumpa. Saling berbagi cerita hingga
tertawa dan tak menyadari bahwa mereka telah diciptakan untuk bersama.
Setelah melakukan wawancara, Carl
mengembuskan napas lega. Ia kemudian menawarkan kepada Anne untuk menunjukkan
sebuah tempat yang—mungkin—akan membuatnya lebih merasa damai.
“Kau tadi bilang baru beberapa hari
tinggal disini, ya? Bagaimana kalau sebagai balas terima kasih, kuajak kau mengunjungi
tempat terindah di NYC?” mata Carl menyiratkan sejuta harapan. Ia yakin, gadis
itu akan dengan senang hati menerima ajakannya.
Anne terperangah menatap pemuda di
sampingnya itu. Ia tak menyangka Carl begitu baik padanya. Secercah rasa itu
tiba-tiba hinggap dalam hatinya. Menembus alam sadarnya hingga ia terlena dalam
khayalan belaka.
Hatinya kembali diliputi keresahan.
Tapi ia mencoba untuk menutupi walau ternyata apa yang dirasakan gadis itu sama
persis apa yang dirasakan oleh Carl. Mereka hanya berpura-pura tidak tahu
menahu.
Carl
yang menunggu jawaban dari gadis itu sudah tidak sabar lagi. “So, how’s?
Will you join me? I’m sure you’ll be surprised!”
Sepasang
mata indah milik Anne menatap sang mentari yang memaparkan sinarnya melalui
celah-celah rimbunnya pepohonan. Cuaca tidak
terlalu buruk, kenapa tidak? batinnya dalam hati. “Yes, I will.”
Sebersit
rasa bahagia melanda hati Carl tiba-tiba. Bibirnya menyungging senyum. Sejurus
kemudian, berangkatlah mereka menuju tempat tujuan. Dalam perjalanan, mereka
banyak bercerita tentang buku Who Am I.
Anne
sangat mengagumi penulisnya yang mampu merangkai kata mnejadi sebuah wacana
indah sepanjang masa. Dalam buku itu dijelaskan bahwa kekuatan agama
tergantung pada kita yang menganutnya. Dan di sana, dibahas pula tentang betapa
agama Islam adalah agama haq yang
menuntun umatnya menuju kenikmatan abadi—Surga. Dengan segala perintah dan larangan-Nya yang tertuang dalam Kitab Suci, terarahlah kaki melangkah.
Carl
yang lebih banyak mengetahui buku itu, bertukar pikiran dengan Anne. Ia
juga mengatakan bahwa kebenaran hanyalah milik Tuhan. Maka sikap toleran sangatlah
diperlukan. Carl mengakhiri pembicaraan tentang buku tersebut ketika bangunan
bercat putih berdiri megah tepat di hadapan mereka. Kesan damai yang terpancar
dari bangunan itu dapat dirasakan bagi setiap orang yang memandangnya. Beberapa
ukiran gaya kuno menunjukkan bahwa bangunan ini telah ada ribuan tahun yang
lalu.
Sebuah
tempat peribadatan para pemeluk agama Islam terbesar di NYC; Masjid Al-Medina.
Anne
telah berdiri lama di hadapan masjid itu dengan perasaan campur aduk. Degup
jantungnya terpacu sangat kuat. Di sampingnya, Carl menemaninya. Mereka
tidak mengatakan sepatah kata pun sampai seorang laki-laki berjenggot putih nan
panjang itu menepuk bahu Carl pelan.
Tubuhnya
semampai dan tegap. Keningnya membentuk garis-garis lipatan, pertanda ia telah
meniti hidup sangat lama dan merajut setiap kenangan yang pernah ada dalam
hidupnya.
“Grandpa
Edward! Kau mengagetiku.”
Edward
tersenyum melihat cucunya berlagak seperti anak kecil. Carl kemudian menyambar
tangan kanan Edward dan menciumnya penuh takzim. Edward yang diperlakukan
layaknya orangtua sendiri oleh Carl, semakin menambah sayang padanya.
Mata
Edward beralih pada gadis yang sedang bersama cucunya. Lalu matanya melirik
pada Carl. Dan disambut anggukkan mantap olehnya. Seolah mengerti satu sama
lain, Edward langsung mengajak mereka berdua untuk mengobrol santai di
pelataran rumahnya, tepat di samping kanan Masjid Al-Medina.
“Agama
bukan sesuatu yang harus kau takuti. Ia ada karena manusia ada. Ketika kau
ingin menjadi manusia yang sempurna, hilangkan rasa takut itu dalam jiwamu.
Sedikit pun kau berlari menjauhi agama, justru hidupmu akan selalu sengsara.
Jangan biarkan Tuhan murka terhadap apa yang kau lakukan. Karena tak satupun
manusia yang luput dari penglihatan-Nya.
“Ketika
kau mencari Tuhanmu, rasakan bila Dia selalu bersama langkahmu. Meski kasat
mata, tapi itulah adanya. Dia berada di mana-mana tetapi tetap satu; tunggal.
Tidak beranak apalagi diperanakkan.”
Kalimat itu
sepertinya pernah kutemukan di buku Who Am I.. batin
Anne tanpa memotong nasihat Edward.
“Jika
kau merasa hatimu tergetar saat menyebut nama-Nya dan saat mendengar segala firman-Nya,
maka jangan kau pura-pura tidak tahu. Itulah kedamaian sejati. Ketika kau
merasakan secuil cinta ketika melakukan sesuatu yang baik, maka jangan biarkan
syaitan mencegah langkahmu. Itulah keridhoan Tuhan.”
Siraman
rohani dari Edward, benar-benar menumbuhkan semangat baru bagi Anne. Hati yang
dulunya kering kerontang kini telah dibasahi oleh kesejukan kalimat indah yang
meluncur dari mulut Edward.
Laki-laki
tua itu bertausiyah panjang lebar. Tangannya pun ikut bergerak-gerak
mengekspresikan perkataannya. Tidak ada yang berani menyela pembicaraan
laki-laki tua itu, kecuali batuk yang telah lama bersarang di tenggorokkannya.
Segala
tentang waktu, kehidupan dunia yang fana, Keagungan Tuhan, Mukjizat Nabi, semua
ditumpahkan dengan kalimat yang mudah dipahami. Setelah beberapa menit mereka
terhenti oleh obrolan tentang agama, Edward menyilakan Anne bertanya tentang
apa saja.
“Kalau
boleh tahu, alasan Grandpa memilih Islam apakah karena turun temurun dari orangtua?”
Anne pun angkat suara. Edward diam sejenak, menarik napas panjang. “Karena
dulu, Allah memberikan hidayah-Nya padaku lewat mimpi.”
“Kemudian
kau bertemu Grandma Marilyn yang kebetulan beragama Islam, lalu kau
di-islam-kan olehnya. Ya, kan, Grandpa?” Carl menambahi. Matanya menatap jahil.
Edward kemudian terbahak. Anne yang melihat tingkah laku antara kakek-cucu yang
begitu akrab, membuatnya ikut terbahak pula.
“Carl,
kau sudah ceritakan diriku padanya?”
“Belum,
Pa. Kupikir kau saja.”
Anne
mengernyit. Matanya bergantian menatap Carl dan Edward. Sebelum mengatakan
sesuatu pada Anne, Edward berdehem pelan dan mengatur posisi duduknya agar
lebih relaks. “Perkenalkan, namaku Edward Marison.”
Seketika Anne
tercengang. Mulutnya menganga tak percaya. “A..apa? Pengarang b..buku Who Am I
yang me..mendunia itu?!”
“Ya.
Dan nama dibelakang Marison, adalah nama pena dari inisial cucuku. DC, Dyrevan
Carl. Kubuat begitu karena aku sayang padanya.” jawab Edward tulus. Matanya berbinar
melirik ke arah Carl.
Mulut
Anne semakin tak sanggup terkatup. Wajahnya menyiratkan kegembiraan sekaligus
ketidakpercayaan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan penulis buku yang selama
ini ia impikan. Marison DC.
Tuhan, terima
kasih Kau telah menakdirkan Amerika menjadi jalan takdirku untuk menuju
jalan-Mu. Kini aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak ingin mengulur-ulur
lagi.. biarlah waktu yang akan menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupku ini..
***
Sebuah
telepon berdering membangunkan seorang pemuda yang sedang bersandiwara dengan
mimpinya. Dalam keadaan setengah sadar, direnggutnya sebuah ponsel. Ia menyipitkan
mata melihat screen ponselnya yang berkedap-kedip.
Anne? Ada apa gerangan meneleponku
malam-malam begini?
“Assalamuala,
eh..halo? Ya, Ann—”
“—Carl, ajari aku Islam. Tuntun aku ke
jalan-Nya.” []
_______________________
Nb: segala bentuk, nama, cerita, dan gambar yang diambil adalah fiksi.
Komentar