Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #12


Meniti Jalan Illahi


Image result for musim salju jalanan malam hari amerika
Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba.
Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini, pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Amerika. Ia ingin segera cepat bertemu. Karena kali terakhir gadis itu melihat kakaknya adalah ketika ia masih berumur lima tahun. Dan tentunya, ketika masalah masih belum memporak-porandakan hidupnya.
            Ia lalu berjalan pelan sambil menarik sebuah koper berukuran besar dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menggenggam erat secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat apartemen. Ia berharap tidak terlalu malam sampai di sana. Tetapi tiba-tiba, sebutir salju terjatuh mengenai wajahnya. Sedikit demi sedikit, kemudian bertambah deras. Ia pun tersenyum kecil dan tak sedikitpun menampakkan wajah kepanikan.
            “Kau benar, Sam. Musim salju menyambutku dengan begitu indah. Terima kasih telah menasihatiku,” gumamnya pelan disertai derap langkah kaki yang semakin cepat.

***

Pagi ini, Samuel menyibukkan diri dengan melayani Annesia, adik tersayangnya yang jauh-jauh datang dari Prancis. Rasa rindunya yang  meletup-letup sejak dahulu, pun membuat ia mengambil keputusan untuk cuti kerja beberapa hari. Bukan, bukan ia tak sayang meninggalkan Anne sendirian di kota Paris tapi, ia merasa dirinya juga butuh waktu 'personal' untuk menenangkan hati. Tentang kedua orangtuanya yang tak sekeyakinan dan tentang segalanya yang berubah dengan begitu cepat.
“Mesir, Turki, Arab, itu adalah beberapa negara yang aku rekomendasikan untukmu, Anne.” Samuel mencoba mengambil topik hangat ketika mengempaskan tubuhnya di sofa. Hawa dingin masih terasa meski selimut sutra membalut tubuhnya.
Anne mengerutkan kening. Ditutupnya majalah teenagers yang ia baca lalu memandang tajam pada Samuel. “Mencari jati diri tidak harus di negara-negara Islam kan, Kak? Tell me, what’s wrong with America?”
It’s so dangerous. You must be careful.”
            So, how about you? Kau sendiri tinggal di sini! Lagi pula, Amerika bukan alasan untuk berhenti mencari kebenaran, kan? Well, aku akan membuktikan aku pasti bisa menemukan apa yang aku cari.” balasnya ketus, kemudian berlalu meninggalkan Kakaknya yang menatapnya khawatir.
            Samuel mengembuskan napas berat. Ia tak begitu yakin Anne dapat berubah menjadi lebih baik dengan menjadi imigran di Amerika. “Let’s see.” katanya lirih namun menyiratkan sebuah harapan.
Setelah bercakap singkat dengan Samuel, Anne memutuskan untuk menyiapkan diri menuju NY Public Library. Dengan bermodal keberanian dan sepeda kayuh Samuel, sampailah ia di gedung yang mahabesar itu. Di sanalah Anne memutuskan menghabiskan waktu senggangnya. Bergelut dengan lembaran abjad-abjad yang sulit dimengerti olehnya. Terutama pada bagian buku yang membahas tentang eksistensi Tuhan dan agama yang diwahyukan.
            Namun, meski ia telah berjam-jam bergelut dengan tumpukan buku-buku yang diambilnya dari rak, tak satu pun buku yang ia cari ia temukan. Rasa lelah seketika tampak di wajah manisnya. Peluh keringat tergambar jelas di bola matanya. Tapi itu semua tak menyurutkan semangat Anne untuk terus mencari apa yang ia ingin ketahui.
Ia kembali berjalan mencari sebuah buku yang telah direkomendasikan oleh guru besarnya di tanah kelahiran. Sebuah buku yang sangat langka ditemukan di negara bagian mana pun. “Who Am I by Marison DC, dimana buku itu?“ gumamnya lirih.
“Oh, Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa sesuatu yang dapat kuyakini dan kupegang teguh dalam hidupku? Who Am I.. Who Am I..” jemari lentiknya masih terus berkutat meneliti setiap buku dari rak paling atas hingga rak paling bawah.
            Tak disangkanya, seorang pemuda yang berada tepat di sampingnya menoleh sekilas, menampakkan mimik keheranan. Seolah mempertanyakan apa maksud dari perkataan si gadis berkacamata tanpa kerudung itu.
            Awalnya pemuda itu ragu apakah ia harus mengatakan sesuatu atau hanya diam tak mempedulikan. Tapi akhirnya, sebaris kalimat meluncur bebas tanpa ia duga. “Em, ma, maaf, aku tadi tidak sengaja mendengar kau mencari buku Who Am I. Apakah ini buku yang kau cari?” sebelum menutup bukunya, pemuda itu melipat kecil halaman yang sedang ia baca. “Benarkah? Kau bisa melihatnya sebentar.”
            Anne melihat pemuda itu dengan tatapan salah tingkah, tapi perlahan, matanya bergerak turun pada buku yang ternyata benar—itu adalah buku yang dicarinya selama beberapa jam yang lalu. Who Am I karya Marison DC.
Pantas saja dari tadi kucari tidak kutemukan! Tapi omong-omong, bagaimana caranya agar aku bisa berguru pada Marison secara langsung? Dengan buku saja kurasa tak cukup. Oh Tuhan, pertemukanlah aku dengannya, suatu saat nanti... batin Anne.
            Seketika wajah Anne diliputi keceriaan. Bibirnya tersenyum, tangannya membolak-balik lembaran demi lembaran lalu berkata, “Ya, buku ini adalah buku yang kucari! Tapi sayangnya, kau telah meminjamnya lebih dulu.” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan ke orang di sampingnya.
            Pemuda itu tersenyum simpul. Matanya ikut melihat apa yang sedang dibaca gadis itu. “Agama dalam kehidupan seorang atheis..? Jadi, apa sebenarnya yang kau cari dari buku ini?” pemuda itu mengambil topik pembicaraan untuk mencairkan suasana.
            “Sesuatu yang akan mengubah jalan pikirku.”
            “Terdengar begitu mistis.” Pemuda itu tertawa sumbang. Lalu, “Apakah kau seorang Muslim, Christian, Khatolik, Sunni, Yahudi, atau.. apa?”
            “Bukan semuanya.”
            Pemuda itu sedikit terperanjat. “Lalu?”
            “Atheis.” jawab gadis itu seolah tak ada beban, ketakutan, dan kekhawatiran. Membuat bulu roma sang penanya seketika menegang. “A..atheis? Kau—? Se..sejak kapan?” pemuda itu bertanya terbata. Alis tebalnya saling bertaut membentuk garis horizon. Otak kirinya dengan cepat mengirim sinyal untuk melakukan sesuatu.
“Mm.. maksudku—maaf, sebelumnya perkenalkan, aku Dyrevan Carl. You can call me Carl.” ujarnya sambil mengatupkan tangan di depan dada. Matanya yang tanpa sengaja berpapasan dengan mata milik Anne, dengan cepat dialihkannya. Anne terdiam sejenak sebelum kemudian ia memperkenalkan diri seperti yang dilakukan Carl.
“Kau sendiri bagaimana?” tanya Anne, tanpa merasa kikuk.
            “Alhamdulillah, aku seorang mualaf yang enam tahun lalu baru berpindah ke agama Islam. Kau tahu? Ternyata Islam tidak seburuk apa yang aku pikirkan. Dan atas bantuan Kakek pula, aku banyak belajar tentang kebesaran Tuhan, kesempurnaan Tuhan, keberadaan Tuhan, dan masih banyak lagi.” Carl mengambil jeda untuk melanjutkan.
            Tapi tiba-tiba, pertanyaan konyol meluncur bebas dari mulut Anne. “Jadi, Tuhanmu juga mempunyai rumah? Di mana? Apa kau dapat melihat rupanya? Lalu, sekarang Tuhanmu sedang apa? Ah, sejak dulu, aku rindu pada Tuhan..”
            Carl melihat Anne yang sedang memandangnya dengan serius. Ingin rasanya saat itu pula, Carl tertawa. Tapi diurungkannya karena ia takut menyinggung perasaan gadis yang belum lama ia kenal itu. “Oh, tentu saja. Rumah-Nya selalu ramai dikunjungi umat muslim sedunia tiap tahunnya. Rupa-Nya begitu indah hingga aku tak bisa melihat-Nya. Seorang Nabi yang bersih saja tak mampu apalagi aku yang hanya seorang manusia? Bahkan yang dulu gemar melakukan dosa dan maksiat. Dan sekarang, Dia sedang melihat kau dan aku bercakap di perpustakaan ini.”
            “Sepertinya, aku tertarik pada Tuhanmu...”
            “Tenang saja, kau dapat menanyakan apapun padaku setelah ini. Tapi, tunggu. Agama apa yang akan kau yakini, hem?” Carl melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tajam menembus akal pikiran seorang gadis yang ternyata tak bertuhan itu.
            Anne kembali terdiam merasakan sengatan kekakuan yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Lalu, agama apa yang akan kau yakini? kalimat itu terus menggema di gendang telinganya. Ia tidak tahu harus berkata apa karena sampai saat ini ia bahkan masih belum menemukan agama yang cocok untuk dirinya sendiri. Namun, ia tidak ingin terlihat bodoh di depan laki-laki bijak bernama Carl itu.
            “Mu, mu, mungkin Islam. Tapi, aku masih butuh waktu untuk meyakinkan hatiku lagi. Dan buku inilah yang direkomendasikan guru besarku. Boleh kupinjam setelah kau kembalikan buku ini?”
            Carl mendengar dengan penuh saksama. Lalu ia bergeming memikirkan sesuatu. Tanpa disadari, bibir busur panahnya melengkung ke bawah. Tangannya mengelus dagunya berulangkali. Entah, apa yang kini sedang bersarang di otaknya.
Anne yang diacuhkan hanya bisa diam dan menunggu.
“Oh, kebetulan sekali. Aku sedang membuat skripsi untuk tugas akhir kuliah. Kau bisa membantuku? Kau akan kujadikan narasumber dalam penelitian yang kubuat.” Carl akhirnya menanggapi dengan mengalihkan pembicaraan. Ia lupa belum menjawab pertanyaan Anne beberapa detik yang lalu.
            “Tentang kehidupan seorang atheis?” Anne balik bertanya.
Carl mengangguk mantap. “Kalau kau tidak keberatan.”
Gadis itu terlihat menimbang-nimbang tawaran Carl. Sebelum akhirnya ia memutuskan, “Deal.”
            Thank you, Annesia.” Carl tersenyum. Hatinya bersorak gembira. Entah kegembiraan karena bertemu lagi dengan gadis itu atau kerena ia menemukan orang yang tepat untuk dijadikan narasumber dalam penelitian gelar sarjana mudanya.
Carl menatap jam yang menempel di pergelangan tangannya. Ia melihat jarum pendeknya berdiam tepat di angka dua belas. “Sudah jam Dzuhur, sampai bertemu di Taman Kota besok pagi. Kau tenang saja, buku ini akan kembali cepat. Kalau kau butuh sesuatu, kau dapat menghubungiku.”
Carl merogoh saku celananya dan memberi secarik kertas berisi alamat dan nomor telepon. Anne menerimanya dengan tangan terbuka. “Well, see you tomorrow, Annesia! Assalam—maksudku, bye!”
            Anne tak menjawab. Namun senyum ramah itu mampu menggantikan salam perpisahan. Matanya masih terus mengekor pada buku di tangan Carl. Ia tak sabar untuk menjadi wanita normal seperti teman sebayanya—yang mempunyai Tuhan untuk disembah, merendahkan diri, dan tempat untuk berkeluh kesah.
            Aku tidak ingin waktuku terbuang dengan percuma. Aku butuh Tuhan. Aku ingin mengabdikan seluruh sisa hidupku untuk bertaubat dan berjalan di atas ridho-Nya..

***

Related image
Kesibukan kota New York pada malam hari  menambah nilai plus pada pandangan pertama. Ya, kota ini selalu saja mampu memanjakan mata. Apapun musimnya dan dari sudut mana pun kau melihatnya tetap saja begitu; sama manisnya. Lampu-lampu gemerlapan tersorot indah dengan pantulan bulan yang masih penuh sempurna.
            Salah satu kamar apartemen NYC tampak lebih berisik dari biasanya. Kamar itu dihuni oleh dua makhluk yang memutuskan untuk menonton film K-movie; A Long Visit My Mom.
“Lihat wajahmu, sudah semerah tomat.” kata Samuel meledek. “Terakhir kali aku melihatmu menangis, kau masih berumur tiga tahunan. Saat aku mencoba untuk merebut boneka barbie-mu.” tambahnya cepat.
“Ah, kau ini! Aku tidak menangis. Aku hanya teringat pada Ibu.” Anne memukul pelan lengan Kakaknya menggunakan bantal. Ia berusaha tertawa tapi yang terdengar malah isakan tangis yang ironis.
“Sudah, tak usah mengelak. Kau hanya tertipu oleh akting mereka.”
“Laki-laki memang berhati baja!”
Samuel tertawa lepas. Dalam hati ia berkata, tentu saja, adikku sayang! karena itulah laki-laki diciptakan Tuhan untuk mengayomi para wanita yang begitu lemah..
            Perlahan tapi pasti, bening kristal lembut itu masih deras mengalir bak anak sungai. Seolah ingin menumpahkan segala resah, gadis itu membiarkannya mengering. Tak digubrisnya segala kepenatan dalam jiwa, ia hanya ingin hidup damai tanpa terbebani masa lalu.
Anne kemudian memiringkan kepalanya menatap Samuel. “Sam, Ini malam Minggu, kau tidak ada rencana mengajakku makan malam di luar?” Meski sedikit terdengar parau, Samuel mengerti apa yang tengah dirasakan adiknya itu.
            “Di luar dingin, Anne. Bagaimana dengan segelas kopi hangat? Kopi ini diimpor langsung dari Asia Tenggara, kau pasti menyukainya. Kita juga bisa menikmati indahnya kota New York di balkon depan sambil bercerita tentang apa pun yang kau suka.” terangnya sambil beranjak menuju dapur.
            Anne hanya mendengar penuh antusias dan merespon dengan anggukan tak bergairah.

***

Langit Minggu pagi yang begitu cerah, membuat seluruh insan menyadari keagungan Tuhan. Di mana ciptaan Tuhan sungguhlah tak dapat diragukan. Berbagai keindahan pun terpantul dari lingkaran dunia. Mesir dengan pesona Piramid Gizanya, Prancis dengan ikon Menara Eiffelnya, Indonesia dengan candi-candinya; semua tampak indah memukau mata.
            Dari arah selatan, seorang gadis mengayuh sepeda dengan bersiul. Jiwanya seolah  terbang merasakan alunan melodi yang memanggilnya tenang. Disela-sela siulannya, pikiran gadis itu ternyata melayang jauh menembus singgasana para dewa. Tiba-tiba bibirnya tersungging tatkala melihat seorang pemuda yang sedang duduk santai di tepi Taman Kota.
            Carl yang menyadari kedatangan Anne, segera beridiri memperbaiki penampilan. Setelah dirasa cukup, Carl menyiapkan beberapa obrolan, pertanyaan, tape recorder, dan buku Who Am I—tentunya.
            Meski Carl bertempat di negara yang minoritas Islam, Carl masih bisa menjaga jarak. Ia tahu bahwa Islam melarang dua manusia yang tak ber-mahram saling menyendiri. Tapi kali ini, Taman Kota semakin ramai dikunjungi. Menurunlah tingkat kekhawatiran Carl.
Sedikit lagi, gelar Sarjana Muda akan direngkuhnya. Ia tersenyum dalam hati mengingat hal itu. Ia beruntung bertemu Anne. Inilah kiriman dari Allah yang begitu berharga baginya. Tapi, bukan soal skripsi saja Anne menjadi berharga di hidupnya. Tapi karena—sejak dulu—dalam lubuk hati pemuda itu, ia menyimpan teguh harapannya untuk dapat mengislamkan seseorang. Dan nalurinya berkata, Anne lah satu-satunya orang yang tanpa sengaja mengetuk ruang hidupnya.
            Untuk beberapa saat, mereka terlihat seperti saudara lama yang tak pernah jumpa. Saling berbagi cerita hingga tertawa dan tak menyadari bahwa mereka telah diciptakan untuk bersama.
            Setelah melakukan wawancara, Carl mengembuskan napas lega. Ia kemudian menawarkan kepada Anne untuk menunjukkan sebuah tempat yang—mungkin—akan membuatnya lebih merasa damai.
            “Kau tadi bilang baru beberapa hari tinggal disini, ya? Bagaimana kalau sebagai balas terima kasih, kuajak kau mengunjungi tempat terindah di NYC?” mata Carl menyiratkan sejuta harapan. Ia yakin, gadis itu akan dengan senang hati menerima ajakannya.
            Anne terperangah menatap pemuda di sampingnya itu. Ia tak menyangka Carl begitu baik padanya. Secercah rasa itu tiba-tiba hinggap dalam hatinya. Menembus alam sadarnya hingga ia terlena dalam khayalan belaka.
            Hatinya kembali diliputi keresahan. Tapi ia mencoba untuk menutupi walau ternyata apa yang dirasakan gadis itu sama persis apa yang dirasakan oleh Carl. Mereka hanya berpura-pura tidak tahu menahu.
Carl yang menunggu jawaban dari gadis itu sudah tidak sabar lagi. “So, how’s? Will you join me? I’m sure you’ll be surprised!
Sepasang mata indah milik Anne menatap sang mentari yang memaparkan sinarnya melalui celah-celah rimbunnya pepohonan. Cuaca tidak terlalu buruk, kenapa tidak? batinnya dalam hati. “Yes, I will.”
Sebersit rasa bahagia melanda hati Carl tiba-tiba. Bibirnya menyungging senyum. Sejurus kemudian, berangkatlah mereka menuju tempat tujuan. Dalam perjalanan, mereka banyak bercerita tentang buku Who Am I.
Anne sangat mengagumi penulisnya yang mampu merangkai kata mnejadi sebuah wacana indah sepanjang masa. Dalam buku itu dijelaskan bahwa kekuatan agama tergantung pada kita yang menganutnya. Dan di sana, dibahas pula tentang betapa agama Islam adalah agama haq yang menuntun umatnya menuju kenikmatan abadi—Surga. Dengan segala perintah dan larangan-Nya yang tertuang dalam Kitab Suci, terarahlah kaki melangkah.
Carl yang lebih banyak mengetahui buku itu, bertukar pikiran dengan Anne. Ia juga mengatakan bahwa kebenaran hanyalah milik Tuhan. Maka sikap toleran sangatlah diperlukan. Carl mengakhiri pembicaraan tentang buku tersebut ketika bangunan bercat putih berdiri megah tepat di hadapan mereka. Kesan damai yang terpancar dari bangunan itu dapat dirasakan bagi setiap orang yang memandangnya. Beberapa ukiran gaya kuno menunjukkan bahwa bangunan ini telah ada ribuan tahun yang lalu.
Sebuah tempat peribadatan para pemeluk agama Islam terbesar di NYC; Masjid Al-Medina.
Anne telah berdiri lama di hadapan masjid itu dengan perasaan campur aduk. Degup jantungnya terpacu sangat kuat. Di sampingnya, Carl menemaninya. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun sampai seorang laki-laki berjenggot putih nan panjang itu menepuk bahu Carl pelan.
Tubuhnya semampai dan tegap. Keningnya membentuk garis-garis lipatan, pertanda ia telah meniti hidup sangat lama dan merajut setiap kenangan yang pernah ada dalam hidupnya.
“Grandpa Edward! Kau mengagetiku.”
Edward tersenyum melihat cucunya berlagak seperti anak kecil. Carl kemudian menyambar tangan kanan Edward dan menciumnya penuh takzim. Edward yang diperlakukan layaknya orangtua sendiri oleh Carl, semakin menambah sayang padanya.
Mata Edward beralih pada gadis yang sedang bersama cucunya. Lalu matanya melirik pada Carl. Dan disambut anggukkan mantap olehnya. Seolah mengerti satu sama lain, Edward langsung mengajak mereka berdua untuk mengobrol santai di pelataran rumahnya, tepat di samping kanan Masjid Al-Medina.
“Agama bukan sesuatu yang harus kau takuti. Ia ada karena manusia ada. Ketika kau ingin menjadi manusia yang sempurna, hilangkan rasa takut itu dalam jiwamu. Sedikit pun kau berlari menjauhi agama, justru hidupmu akan selalu sengsara. Jangan biarkan Tuhan murka terhadap apa yang kau lakukan. Karena tak satupun manusia yang luput dari penglihatan-Nya.
“Ketika kau mencari Tuhanmu, rasakan bila Dia selalu bersama langkahmu. Meski kasat mata, tapi itulah adanya. Dia berada di mana-mana tetapi tetap satu; tunggal. Tidak beranak apalagi diperanakkan.”
Kalimat itu sepertinya pernah kutemukan di buku Who Am I.. batin Anne tanpa memotong nasihat Edward.
Jika kau merasa hatimu tergetar saat menyebut nama-Nya dan saat mendengar segala firman-Nya, maka jangan kau pura-pura tidak tahu. Itulah kedamaian sejati. Ketika kau merasakan secuil cinta ketika melakukan sesuatu yang baik, maka jangan biarkan syaitan mencegah langkahmu. Itulah keridhoan Tuhan.”
Siraman rohani dari Edward, benar-benar menumbuhkan semangat baru bagi Anne. Hati yang dulunya kering kerontang kini telah dibasahi oleh kesejukan kalimat indah yang meluncur dari mulut Edward.
Laki-laki tua itu bertausiyah panjang lebar. Tangannya pun ikut bergerak-gerak mengekspresikan perkataannya. Tidak ada yang berani menyela pembicaraan laki-laki tua itu, kecuali batuk yang telah lama bersarang di tenggorokkannya.
Segala tentang waktu, kehidupan dunia yang fana, Keagungan Tuhan, Mukjizat Nabi, semua ditumpahkan dengan kalimat yang mudah dipahami. Setelah beberapa menit mereka terhenti oleh obrolan tentang agama, Edward menyilakan Anne bertanya tentang apa saja.
“Kalau boleh tahu, alasan Grandpa memilih Islam apakah karena turun temurun dari orangtua?” Anne pun angkat suara. Edward diam sejenak, menarik napas panjang. “Karena dulu, Allah memberikan hidayah-Nya padaku lewat mimpi.”
“Kemudian kau bertemu Grandma Marilyn yang kebetulan beragama Islam, lalu kau di-islam-kan olehnya. Ya, kan, Grandpa?” Carl menambahi. Matanya menatap jahil. Edward kemudian terbahak. Anne yang melihat tingkah laku antara kakek-cucu yang begitu akrab, membuatnya ikut terbahak pula.
“Carl, kau sudah ceritakan diriku padanya?”
“Belum, Pa. Kupikir kau saja.”
Anne mengernyit. Matanya bergantian menatap Carl dan Edward. Sebelum mengatakan sesuatu pada Anne, Edward berdehem pelan dan mengatur posisi duduknya agar lebih relaks. “Perkenalkan, namaku Edward Marison.”
Seketika Anne tercengang. Mulutnya menganga tak percaya. “A..apa? Pengarang b..buku Who Am I yang me..mendunia itu?!”
“Ya. Dan nama dibelakang Marison, adalah nama pena dari inisial cucuku. DC, Dyrevan Carl. Kubuat begitu karena aku sayang padanya.” jawab Edward tulus. Matanya berbinar melirik ke arah Carl.
Mulut Anne semakin tak sanggup terkatup. Wajahnya menyiratkan kegembiraan sekaligus ketidakpercayaan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan penulis buku yang selama ini ia impikan. Marison DC.
Tuhan, terima kasih Kau telah menakdirkan Amerika menjadi jalan takdirku untuk menuju jalan-Mu. Kini aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak ingin mengulur-ulur lagi.. biarlah waktu yang akan menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupku ini..

***

Sebuah telepon berdering membangunkan seorang pemuda yang sedang bersandiwara dengan mimpinya. Dalam keadaan setengah sadar, direnggutnya sebuah ponsel. Ia menyipitkan mata melihat screen ponselnya yang berkedap-kedip. Anne? Ada apa gerangan meneleponku malam-malam begini?
“Assalamuala, eh..halo? Ya, Ann—”
—Carl, ajari aku Islam. Tuntun aku ke jalan-Nya.” []


_______________________
Nb: segala bentuk, nama, cerita, dan gambar yang diambil adalah fiksi.

Komentar