Jari Manis
“Lama
tak jumpa. Bagaimana kabarmu, hem?” Hanif mencoba mengakrabkan diri denganku setelah
bertahun-tahun tak saling temu pascawisuda. Aku menundukkan kepala, tak berani
menatap sepasang mata yang menyiratkan kesakitan tiada tara. Ini semua salahku.
Seharusnya dulu.. ah, tidak. Tidak ada yang perlu disesali. Biarkan hidup ini
mengalir. Seperti anak sungai yang terombang-ambing terbawa arus takdir.
Sebelum
sempat aku menjawabnya, ia kembali membuka mulut, “A..aku—“ ujarnya terbata
dengan tuntutan dalam jiwa. “M..maaf,”
“Untuk
apa?”
“M..maaf
telah membuatmu menunggu lama.” jawabnya cepat, secepat tengkukku berdiri tegak
lurus menghadapnya. Sejenak, wajahku merona. Karena cepat atau lambat, aku
yakin ia akan melamarku pagi ini. Sesuai janjinya yang ia buat dulu—ketika aku
belum siap menjadi calon istrinya karena faktor umur.
Kudiamkan
ia sebentar kemudian kutengadahkan sedikit kepalaku untuk melihat suasana di luar,
awan tampak menghitam, pekat. Dan di saat dedaunan mulai berguguran melambai-lambai
di atas tanah akibat terpaan angin, aku berdehem pelan. Sekadar mencairkan
suasana yang mulai terasa hambar. Kami berdua tidak menyadari bahwa minuman
yang kami pesan beberapa jam yang lalu telah mendingin seiring lambatnya waktu
yang malas begerak menuju ke masa keabadian.
“Jadi?”
kataku akhirnya—atau lebih tepatnya mencondong untuk mendapatkan sebuah
kepastian. Hanif menatapku sendu. Lama. Dan parahnya, aku tidak tahu bahasa
isyarat tubuh seorang manusia. Lalu, kuputuskan untuk diam, karena diam adalah
emas, batinku cemas dan was-was.
“Kau
masih ingat janjiku?” Hanif melontarkan pertanyaan balik kepadaku. Aku
tersenyum hangat dan kujawab dengan hati berdebar, “Bagaimana aku bisa
melupakan janjimu sementara aku di sini masih menunggumu, Nif?”
Kulirik
mimik wajahnya sekilas dengan harapan bahwa ia juga masih ingat akan janji yang
ia buat sendiri—ketika kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Namun sepertinya,
harapanku memang hanya akan menjadi sebuah harapan belaka selamanya. Karena di
wajahnya, tak kutemukan seulas senyum kebahagiaan yang memancarkan jawaban
kepuasan.
Cepat-cepat
kutepis prasangka buruk tentangnya. Karena aku yakin, Hanif adalah seorang Laki-laki
yang jujur, taat agama, dan pastinya akan menepati janji di kala ia membuat
janji.
Tiba-tiba,
diangkatnya satu dari kedua tangannya. Aku tidak mengerti apa maksudnya ia
melakukan adegan aneh ini. Tapi ia tak menggubris kepenasarananku. Ia tetap bergeming
pada pendiriannya, seolah membiarkan waktu yang akan menjawabkan jawaban yang
benar untukku.
Tanpa aba-aba, kucerna—sekali lagi dengan
baik-baik—apa maksud gerak-gerik yang dilakukannya secara tiba-tiba itu. Dan,
tanpa kusadari sejak tadi, aku melupakan sesuatu. Yang membuat setiap detik
menjadi lecutan keras di tubuhku. Yang membuat lidahku kelu dan diam membisu.
Dan yang membuat hidupku tak sebergairah menit-menit yang lalu.
“Maaf..
Maaf.. maaf..” ia menangis di hadapanku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tapi
kesamaan itu tiada berarti tatkala isi hati kami mengatakan hal yang tak
sejalan. Ternyata, ia telah beristri. Jari manisnya terbingkai indah oleh bulatan
besi yang di dalamnya terukir sebuah nama wanita—yang tak lain adalah istrinya—Emala
Salsabila. []
Komentar