A Journey
Seminggu
lagi, musim dingin akan menghampiri California—tempat di mana aku menjadi
imigran setelah bertahun-tahun menetap di Benua Asia bagian Tenggara. Kau tahu?
Ternyata hidup di luar negeri tidaklah mudah. Dengan empat musim dan sifat
orang-orang yang terlalu.. yeah.
Egois. Kata orang, inilah Jet-lag.
Perlu beradaptasi dalam kurun waktu tertentu.
Malam
ini, ditemani kuncup bunga poppy dan bintang-bintang yang berserakan bebas di
langit, aku tengah bersiap-siap mengemasi barang di Apartemen.
“Biarkan
aku ikut denganmu.” John tiba-tiba muncul dari belakang pintu kamarku. Oh,
sial! Aku mulai muak ketika mataku saling beradu pandang dengan mata birunya. Mata
yang benar-benar membuatku terlena untuk selalu mengasihinya. “No, I can do it by myself.” balasku tak
acuh.
“Well—I know. Tapi.. lihatlah,” kata John
sambil mengarahkan pandangan ke arah perutku. Aku semakin risih dibuatnya. Sejenak,
ia sandarkan tubuhnya ke dinding tembok yang berlapis plastik. “My son.. dia tak bisa sendiri.” lanjutnya
tenang sembari menyilangkan tangan di depan dada.
Pipiku mulai memanas. Kulirik sekilas wajahnya, di sana kutemukan senyum kemenangan.
“Bagaimana?” dagunya ikut terangkat.
“...”
“Kau mencintaiku, kan? Ayolah. Kita
harus melakukannya bersama-sama.”
“Shut
up!” umpatku.
“Never
mind! Besok pagi, berangkatlah denganku.” John tersenyum menyeringai, menatap
mataku dalam. Dan akhirnya.. speechless.
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi setelahnya.
***
Sejak
dulu, aku memang bermimpi melanjutkan studi sarjanaku ke Irak, tapi takdir
berkata lain, aku pun terdampar di lautan Amerika dan.. oke ku akui. John adalah
penolongku ketika kapal samudra—ocean
liner, terantuk terumbu karang besar saat melewati Samudra Pasifik.
Awalnya, di
mataku John memang sosok laki-laki baik. Dengan postur tubuhnya yang kokoh dan
dadanya yang bidang, ia mempu membuat mata para gadis jelalatan dan ingin
selalu berada sangat dekat dengannya. But,
not for me. Aku sama sekali bukan tipe gadis yang seperti itu. Yeah, I’m sure.
Bagiku, cukup cepat waktu berputar.
Hingga menyadarkanku bahwa sudah dua bulan lamanya aku tinggal satu atap dengan
John dan Jessica—Mum John. Dan selama itu pulalah otakku semakin tak waras.
Bagaimana tidak? John melamarku dan aku hanya mampu tertunduk lesu.
Ujung-ujungnya,
meskipun aku sudah mencoba mengulur-ulur waktu untuk tidak memberikan jawaban,
John masih setia menungguku. Dan hatiku semakin luluh untuk beberapa waktu. Dengan
perasaan was-was, akhirnya aku membawakan berita buruk; kukatakan pada Jessica
bahwa aku menerima lamaran putranya.
Tapi,
hei! Bukan aku bermaksud membodohi diriku sendiri karena menikahi laki-laki
tanpa atas dasar cinta, tapi itu adalah satu-satunya jalan. Karena aku telah
berutang budi pada John—juga Jessica tentunya.
Tak lama, pernikahanku dengan John akan berlangsung. Jujur, pada saat itu, aku
seperti menjadi wanita terbodoh di dunia. Yang terlalu mengikuti arus
kehidupan. Menapaki takdir buruk dan akhirnya semakin terpuruk. Ironis. Batinku
dalam hati.
Dan asal kalian tahu,
satu pertanyaan yang sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya adalah; mengapa
John dapat mencintaiku dalam kurun waktu 3 bulan, sedangkan aku menyadari bahwa
aku tidak secantik Ratu Elizabeth atau artis-artis wannabe lainnya? Dan untuk informasi lagi, selama 3 bulan itu, John bahkan tidak pernah sama sekali mengatakan kata-kata romantis seperti I love you, miss you, dan juga need you. Hah, its so so freak, isn’t?
Tiba-tiba, aku mendengar suara
berisik dari luar. “Let’s wake up!! We’ll be late to the airport, you know?!” John menggoyahkan
tubuhku pelan. Mataku masih terpejam. “Quieter
couldn’t?” tanyaku datar. “Tenang? Tenang bagaimana? Kita harus segera menuju
Belanda bertemu Mum dan Dad!”
Baiklah, sepertinya pagi ini aku
harus lebih bersabar menghadapi laki-laki keras kepala yang sungguh—tidak
menyayangiku seperti seorang istri. “Oh, fine..
Aku akan bersiap diri.” ujarku dengan meregangkan otot tangan. Tanpa sengaja,
aku melihat perubahan mimik mengerikan di wajah John yang sedikit demi sedikit memudar.
“A-ha, Smart girl.”
“Tidak
bisakah kau memanggilku ‘Honey’, My-real-man? Sejak kau menikah denganku, tak satupun
kalimat sayang kau keluarkan dari mulutmu. Kau pikir itu baik untuk hubungan kita, hah?!” gerutuku sambil beranjak meninggalkan John cepat, karena kuyakin jika ia memberikan alasan, pasti alasan yang klasik—lagi.
John
mematung. Bibir busur panahnya membentuk huruf ‘o’.
***
Menunggu
pesawat yang belum juga take off
bersama John, membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Dia laki-laki bertipe
hiperaktif yang membutuhkan psikiater—menurutku. Sungguh membosankan dan
menyebalkan. Bahkan ketika ia menyanyikan lagu dari Avril Lavigne, I will be.
Tiba-tiba
layar di handphone-ku berdering. Ku
lihat sekilas. Jessica. “Halo, sayang. How’s?”
pertanyaan Jessica sedikit membuatku merasa lebih ringan dibanding malam
kemarin. “Baik, Mum. Bagaima—“
Jessica
memotong pembicaraanku dengan cepat, “Agnes, suara siapa itu yang sedang bernyanyi?
Merdu sekali. Is your Husband, John?
Well—berbahagialah di sepanjang perjalanan, oke? Iya, Mum tunggu. Bye-bye, honey.. love you more!”
Klik.
“Siapa?”
“Mum.”
Suasana
kembali diliputi keheningan. Tak ada lagi suara nyanyian dari mulut John.
Ternyata, aku baru menyadari bahwa.. uhm—aku
mengharapkan John menyanyikan lagu itu lagi di sampingku.
Tiba-tiba,
kepalaku mulai terasa berat, mataku berkunang-kunang. Berkali-kali ku katupkan
kedua tanganku karena menguap terlalu banyak. Udara di dalam pesawat memang
dingin. Membuatku ingin tidur di sepanjang perjalanan.
John,
seperti biasa, tidak terlalu peduli padaku. Matanya menatap lurus ke depan.
Entah, apa yang sedang dilihatnya. Namun yang pasti, sedikit demi sedikit mataku
mulai menyipit dan akhirnya tertutup rapat. Dan tanpa kuduga, John bernyanyi
lagi. Kali ini lebih melow. Di telingaku, ia seperti menyanyikan sebuah lagu
nina bobo untukku. Terasa menggelikan. Tapi sepertinya, John—benar-benar tak
mengacuhkanku. Ia terus bernyanyi sesuka hati.
But, who cares?
Hingga
beberapa menit berlalu, aku tidak sadar bahwa kini kepalaku memang benar-benar
bersandar di bahu John—Astaga!
Meski
mataku terpejam, tapi aku bisa merasakan siluet hitam John yang memandangiku
lama. Ia kemudian me-releks-kan diri dengan mengayunkan lengannya di bahuku. Terasa
dada bidangnya yang menawarkan perlindungan.
“I..
I love you with all my heart, H—Honey..” ujar John terbata sembari mengelus
pelan ubun-ubunku. Bibirnya terkulum senyum. Lalu.. oh, Tuhan.. Terasa kecupan
hangat mengaliri wajahku seketika. John
mengucapkan kata cinta padaku? Oh, John.. itu manis sekali..
“Aku
juga mencintaimu, my son.” imbuhnya
lagi. Suaranya terdengar serak mendewasa. Tangannya mulai meraba perutku yang
kian membesar. Ia mengusapnya lembut. Dan tanpa ia sadari, aku masih terjaga
dalam tidurku.
“Kelak..
jika kau benar terlahir sebagai laki-laki, akan kuberi kau nama Johanes. Kau
tahu? Dengan nama itu, aku berharap kau menyadari bahwa lahirmu di dunia ini
adalah hasil cinta dan kasih antara Agnes dan aku—John. Yeah, Johanes. I love that name.”
See!
Tidakkah itu romantis?
Jujur.
Aku khilaf telah mengatai John yang tidak-tidak. Aku sungguh benar-benar—khilaf.
Ternyata akulah yang picik. Menganggap bahwa semua kasih sayang hanya dapat
dibuktikan lewat ucapan saja. Tapi lihatlah sekali lagi, diam-diam John
bersimpati padaku. Dengan memperlakukanku bak Puteri kerajaan. Bahkan di luar
dugaan, ia telah membuat sebuah nama untuk jabang bayi yang sedang bersemayam
di rahimku ini.
Johanes.
John dan Agnes.
Ya, a, aku mencintaimu
dengan sepenuh hatiku juga, John.. ujarku
dalam hati. Kini aku mengerti. Meraih cinta yang sempurna, memerlukan proses
perjalanan yang lama. Bukan hanya sekadar mengomel apalagi menuntut untuk
menjadi yang sempurna.
Rasanya
aku ingin terbangun dan tak sabar mengucapkan, “Aku tidak butuh lagi ucapan
kasihmu padaku. But, let’s grow together, John..” []
Komentar