Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #9


A Journey


Hasil gambar untuk california

Seminggu lagi, musim dingin akan menghampiri California—tempat di mana aku menjadi imigran setelah bertahun-tahun menetap di Benua Asia bagian Tenggara. Kau tahu? Ternyata hidup di luar negeri tidaklah mudah. Dengan empat musim dan sifat orang-orang yang terlalu.. yeah. Egois. Kata orang, inilah Jet-lag. Perlu beradaptasi dalam kurun waktu tertentu.
Malam ini, ditemani kuncup bunga poppy dan bintang-bintang yang berserakan bebas di langit, aku tengah bersiap-siap mengemasi barang di Apartemen.
“Biarkan aku ikut denganmu.” John tiba-tiba muncul dari belakang pintu kamarku. Oh, sial! Aku mulai muak ketika mataku saling beradu pandang dengan mata birunya. Mata yang benar-benar membuatku terlena untuk selalu mengasihinya. “No, I can do it by myself.” balasku tak acuh.
            WellI know. Tapi.. lihatlah,” kata John sambil mengarahkan pandangan ke arah perutku. Aku semakin risih dibuatnya. Sejenak, ia sandarkan tubuhnya ke dinding tembok yang berlapis plastik. “My son.. dia tak bisa sendiri.” lanjutnya tenang sembari menyilangkan tangan di depan dada.
Pipiku mulai memanas. Kulirik sekilas wajahnya, di sana kutemukan senyum kemenangan.
            “Bagaimana?” dagunya ikut terangkat.
            “...”
            “Kau mencintaiku, kan? Ayolah. Kita harus  melakukannya bersama-sama.”
            Shut up!” umpatku.
            Never mind! Besok pagi, berangkatlah denganku.” John tersenyum menyeringai, menatap mataku dalam. Dan akhirnya.. speechless. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi setelahnya.
***
Sejak dulu, aku memang bermimpi melanjutkan studi sarjanaku ke Irak, tapi takdir berkata lain, aku pun terdampar di lautan Amerika dan.. oke ku akui. John adalah penolongku ketika kapal samudra—ocean liner, terantuk terumbu karang besar saat melewati Samudra Pasifik.
Awalnya, di mataku John memang sosok laki-laki baik. Dengan postur tubuhnya yang kokoh dan dadanya yang bidang, ia mempu membuat mata para gadis jelalatan dan ingin selalu berada sangat dekat dengannya. But, not for me. Aku sama sekali bukan tipe gadis yang seperti itu. Yeah, I’m sure.
            Bagiku, cukup cepat waktu berputar. Hingga menyadarkanku bahwa sudah dua bulan lamanya aku tinggal satu atap dengan John dan Jessica—Mum John. Dan selama itu pulalah otakku semakin tak waras. Bagaimana tidak? John melamarku dan aku hanya mampu tertunduk lesu.
Ujung-ujungnya, meskipun aku sudah mencoba mengulur-ulur waktu untuk tidak memberikan jawaban, John masih setia menungguku. Dan hatiku semakin luluh untuk beberapa waktu. Dengan perasaan was-was, akhirnya aku membawakan berita buruk; kukatakan pada Jessica bahwa aku menerima lamaran putranya.
Tapi, hei! Bukan aku bermaksud membodohi diriku sendiri karena menikahi laki-laki tanpa atas dasar cinta, tapi itu adalah satu-satunya jalan. Karena aku telah berutang budi pada John—juga Jessica tentunya.
Tak lama, pernikahanku dengan John akan berlangsung. Jujur, pada saat itu, aku seperti menjadi wanita terbodoh di dunia. Yang terlalu mengikuti arus kehidupan. Menapaki takdir buruk dan akhirnya semakin terpuruk. Ironis. Batinku dalam hati.
Dan asal kalian tahu, satu pertanyaan yang sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya adalah; mengapa John dapat mencintaiku dalam kurun waktu 3 bulan, sedangkan aku menyadari bahwa aku tidak secantik Ratu Elizabeth atau artis-artis wannabe lainnya? Dan untuk informasi lagi, selama 3 bulan itu, John bahkan tidak pernah sama sekali mengatakan kata-kata romantis seperti I love you, miss you, dan juga need you. Hah, its so so freak, isn’t?
            Tiba-tiba, aku mendengar suara berisik dari luar. “Let’s wake up!! Well be late to the airport, you know?!” John menggoyahkan tubuhku pelan. Mataku masih terpejam. “Quieter couldn’t?” tanyaku datar. “Tenang? Tenang bagaimana? Kita harus segera menuju Belanda bertemu Mum dan Dad!”
            Baiklah, sepertinya pagi ini aku harus lebih bersabar menghadapi laki-laki keras kepala yang sungguh—tidak menyayangiku seperti seorang istri. “Oh, fine.. Aku akan bersiap diri.” ujarku dengan meregangkan otot tangan. Tanpa sengaja, aku melihat perubahan mimik mengerikan di wajah John yang sedikit demi sedikit memudar.
“A-ha, Smart girl.”
“Tidak bisakah kau memanggilku ‘Honey’, My-real-man? Sejak kau menikah denganku, tak satupun kalimat sayang kau keluarkan dari mulutmu. Kau pikir itu baik untuk hubungan kita, hah?!” gerutuku sambil beranjak meninggalkan John cepat, karena kuyakin jika ia memberikan alasan, pasti alasan yang klasik—lagi.
John mematung. Bibir busur panahnya membentuk huruf ‘o’.
***
Menunggu pesawat yang belum juga take off bersama John, membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Dia laki-laki bertipe hiperaktif yang membutuhkan psikiater—menurutku. Sungguh membosankan dan menyebalkan. Bahkan ketika ia menyanyikan lagu dari Avril Lavigne, I will be.
Tiba-tiba layar di handphone-ku berdering. Ku lihat sekilas. Jessica. “Halo, sayang. How’s?” pertanyaan Jessica sedikit membuatku merasa lebih ringan dibanding malam kemarin. “Baik, Mum. Bagaima—“
Jessica memotong pembicaraanku dengan cepat, “Agnes, suara siapa itu yang sedang bernyanyi? Merdu sekali. Is your Husband, John? Well—berbahagialah di sepanjang perjalanan, oke? Iya, Mum tunggu. Bye-bye, honey.. love you more!”
Klik.
“Siapa?”
“Mum.”
Suasana kembali diliputi keheningan. Tak ada lagi suara nyanyian dari mulut John. Ternyata, aku baru menyadari bahwa.. uhm—aku mengharapkan John menyanyikan lagu itu lagi di sampingku.
Tiba-tiba, kepalaku mulai terasa berat, mataku berkunang-kunang. Berkali-kali ku katupkan kedua tanganku karena menguap terlalu banyak. Udara di dalam pesawat memang dingin. Membuatku ingin tidur di sepanjang perjalanan.
John, seperti biasa, tidak terlalu peduli padaku. Matanya menatap lurus ke depan. Entah, apa yang sedang dilihatnya. Namun yang pasti, sedikit demi sedikit mataku mulai menyipit dan akhirnya tertutup rapat. Dan tanpa kuduga, John bernyanyi lagi. Kali ini lebih melow. Di telingaku, ia seperti menyanyikan sebuah lagu nina bobo untukku. Terasa menggelikan. Tapi sepertinya, John—benar-benar tak mengacuhkanku. Ia terus bernyanyi sesuka hati.
But, who cares?
Hingga beberapa menit berlalu, aku tidak sadar bahwa kini kepalaku memang benar-benar bersandar di bahu John—Astaga!
Meski mataku terpejam, tapi aku bisa merasakan siluet hitam John yang memandangiku lama. Ia kemudian me-releks-kan diri dengan mengayunkan lengannya di bahuku. Terasa dada bidangnya yang menawarkan perlindungan.
            I.. I love you with all my heart, H—Honey..” ujar John terbata sembari mengelus pelan ubun-ubunku. Bibirnya terkulum senyum. Lalu.. oh, Tuhan.. Terasa kecupan hangat mengaliri wajahku seketika. John mengucapkan kata cinta padaku? Oh, John.. itu manis sekali..
            “Aku juga mencintaimu, my son.” imbuhnya lagi. Suaranya terdengar serak mendewasa. Tangannya mulai meraba perutku yang kian membesar. Ia mengusapnya lembut. Dan tanpa ia sadari, aku masih terjaga dalam tidurku.
“Kelak.. jika kau benar terlahir sebagai laki-laki, akan kuberi kau nama Johanes. Kau tahu? Dengan nama itu, aku berharap kau menyadari bahwa lahirmu di dunia ini adalah hasil cinta dan kasih antara Agnes dan aku—John. Yeah, Johanes. I love that name.”
See! Tidakkah itu romantis?
Jujur. Aku khilaf telah mengatai John yang tidak-tidak. Aku sungguh benar-benar—khilaf. Ternyata akulah yang picik. Menganggap bahwa semua kasih sayang hanya dapat dibuktikan lewat ucapan saja. Tapi lihatlah sekali lagi, diam-diam John bersimpati padaku. Dengan memperlakukanku bak Puteri kerajaan. Bahkan di luar dugaan, ia telah membuat sebuah nama untuk jabang bayi yang sedang bersemayam di rahimku ini.
Johanes. John dan Agnes.
Ya, a, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku juga, John.. ujarku dalam hati. Kini aku mengerti. Meraih cinta yang sempurna, memerlukan proses perjalanan yang lama. Bukan hanya sekadar mengomel apalagi menuntut untuk menjadi yang sempurna.
Rasanya aku ingin terbangun dan tak sabar mengucapkan, “Aku tidak butuh lagi ucapan kasihmu padaku. But, let’s grow together, John..” []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...