“Ambu
dan Uwa, sayang pada kau, Leh.” ucap Ambu memulai percakapan. Aku bergeming,
mendengar penuh bakti dan merasakan begitu tulusnya mereka menyayangiku. Tak
dapat dipungkiri, Uwa memang sangat perhatian padaku. Terlebih, sepeninggal
Abah yang merantau ke Tanah Abang beberapa tahun lalu.
Kulirik arloji yang melingkar di tangan kananku, pukul 09.00. Ah, itu artinya sebentar lagi pesawat Garuda akan membawaku terbang menuju tempat di mana aku harus
mengeksplorasi segala asa dan mimpi. Oh, aku sudah tidak sabar lagi; duduk di kursi empuk
sambil memandangi daratan dan lautan di atas awan. Tapi rasanya, jika tanpa
Ambu.. semua terasa kebas. Awak juga
sayang pada Ambu dan Uwa.. batinku dalam hati.
Ambu
menepuk bahuku pelan, menatapku hangat, kemudian menasihatiku untuk yang
kesekian kalinya, “Saleh, kau adalah satu-satunya anak Ambu. Buatlah Ambu ini
bahagia tanpa merasa kecewa. Teruslah arungi waktu, jelajahilah pijakan yang
kau suka. Ambu akan merestui asal kau belajar dengan getol dan tak lupa akan rumah.”
“Awak pasti akan berusaha
membahagiakan Ambu..” jawabku lirih dengan mencium tangan Ambu lama. Tiba-tiba,
dari arah belakang, Uwa mengelukan namaku. “Saleh.. pesan Uwa, jangan berbuat
macam-macam di negeri orang. Apalagi di Arab. Hukum Islam masih kental
ditegakkan,”
Kudapati wajah yang teduh itu sedang
tersenyum. Seulas senyum dari laki-laki paling bijak yang pernah ku temui.
Sejenak, aku merasakan aliran semangat dari Uwa yang mendekapku bak sahabat
karib. Setelah itu, Uwa melontarkan pertanyaan sebelum sempat aku merespon
nasihatnya barusan.
“Sareng
saha, Leh?”
“Sendirian, Wa.”
“Uwa doakan semoga mimpimu untuk
jadi mubaligh muda terwujud.”
“Insyaa Allah, syukran, Wa. Jazakallah.”
balasku dengan menggunakan kosa kata Bahasa Arab yang masih sedikit kuingat
saat belajar di Pondok Pesantren. Uwa tergelak mendengar gelagatku yang sedikit
berbeda ketika menuturkan kalimat tersebut.
Saat
kulihat salah seorang pramugari hendak menginformasikan bahwa Pesawat akan
segera take off, Ambu berkata
padaku—lagi. “Jadi orang yang pinter. Kalau sudah pinter, balik lagi ke
negerimu sendiri. Kau dengar kan, Leh? Jangan lupa, baca istighfar terus di
pesawat. Jika ada apa-apa, jangan panik. Malaikat akan menjaga orang-orang yang
pergi mencari ilmu.”
“Baik, Mbu. Saleh mengerti. Uwa..”
aku menoleh menyejajari Uwa. Ia melihatku, lalu kubisikkan sesuatu di
telinganya. “Tolong jaga Ambu. Saleh mohon.” pintaku memelas. Uwa mengerlingkan
mata sambil memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
“Assalamualaikum!” ujarku mengakhiri
percakapan di hari Jumat bersama orang-orang yang berarti dalam hidupku.
Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju anak tangga pesawat beriringan dengan
lambaian tangan mereka yang kubalas dengan tulus.
Mereka
masih tersenyum merelakan kepergianku. Walau kutahu, dadanya masih kembang
kempis menahan sesak kekhawatiran.
***
“Are you okay? Make today is your, Sir.”
“Am okay. Thank you.”
“Well—enjoy with this flight.”
Seorang pramugari berjalan
menjauhiku setelah bercakap singkat. Oh, apakah diriku terlihat begitu
menyedihkan hari ini? Biar. Aku tak peduli. Aku memang seorang laki-laki yang
hebat, tapi akan rapuh juga ketika Ambu meninggalkanku sendirian di tanah asing.
Ketika kudengar seorang pilot
berkata, “Cabin crew, take off position,” hatiku berdebar. Mulutku berkomat-kamit membaca tasbih, tahmid, tahlil serta
takbir. Berharap semoga pesawat yang ku tumpangi mengangkasa dengan sempurna.
Ku tata lagi hatiku yang terus
bergemuruh hebat. Kualihkan pandangan menuju jendela. Pesawat berhasil
mengudara. Di luar, awan terlihat begitu putih memancarkan pesona. Ya, inilah
kali pertama aku naik pesawat. Tanpa Ambu dan Uwa.
Aku mencoba melihat ke bawah. Yaa Allah. Maha besar sekali. Sejauh mata memandang, tak kutemukan manusia. Hanya
bangunan pencakar langit yang terlihat menantang. Ternyata, seperti inilah
terbang. Dibawa arus kehidupan yang selalu berputar.
Sejak dulu, aku selalu yakin bahwa
orang-orang yang berjalan angkuh dengan membusungkan dada tanpa rasa rendah
hati adalah manusia paling merugi. Karena sampai kapan pun, manusia akan
mengalami sebuah revolusi di mana setiap individu akan mengalami bagaimana
rasanya bahagia dan sedih. Dan keduanya adalah pilihan dari masing-masing hati.
***
Sedetik
setelah mataku berhasil terpejam, tiba-tiba kurasakan bumi bergetar. Memporak
porandakan penumpang pesawat yang sedang terlelap tidur. Bergoyang kesana-kemari
mengikuti guncangan alami dari dalam bumi. Mataku terpicing, melihat semua
orang dengan wajah pucat pasi. Aya naon? tanyaku
prihatin dalam hati.
Kulirik jendela—awan mulai tampak
tak bersahabat. Begitu pekat hingga membuat para penumpang jejeritan histeris. Di awak
kabin, beberapa pramugari mencoba untuk menenangkan para penumpang dengan
kalimat-kalimat panjang yang sulit dimengerti.
Ketika semua orang kalang kabut
sibuk mencari perlindungan, tiba-tiba, bau asap menguar di antara hidung kami.
Menambah suasana dalam kabin bertambah gaduh. Situasi tak menentu seperti ini
terjadi sekitar lima belas menit. Hatiku semakin tak karuan. Antara rasa takut,
sedih, dan kecewa, bercampur menjadi satu.
Lama-lama, suara pramugari itu lebih
terdengar seperti dengungan lebah. Tak jelas tertelan suara petir yang
menyambar beriringan dengan kilatan halilintar. “Ambu!! Uwa!!” jeritku dalam
tangisan yang sungguh tak dapat kubendung lagi. Tanganku gemetar. Tubuhku panas
dingin. Ya Allah.. jika memang hidup
adalah yang terbaik bagiku maka hidupkanlah aku, tapi jika mati adalah yang
terbaik bagiku maka matikanlah aku. La ilaaha illallah..
Pesawat tiba-tiba landing. Kupikir Tuhan telah menjawab
permohonan doaku. Tapi ternyata..
***
“Ditemukan
tiga puluh dua orang terluka dan satu orang tewas di tempat. Kami masih menunggu
hasil evakuasi dari polisi yang ikut memecahkan masalah ini. Tapi kami yakin,
kejadian ini karena faktor alam, bukan mutlak kesalahan pilot dalam mengemudi.”
terang Ir. Soraya, kepala dirut PT Garuda Indonesia. []
.
.
.
Ps: kesamaan nama dan tempat hanyalah fiksi.
Komentar