Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #5


Actually, cerpen ini pernah masuk antologi cerpen yang diterbitin sama indie publisher. Tapi jujur, masih rada belum puas sih :v

Well, happy Reading!





I am and My New Hijaab


Aku memandangi jilbab unguku yang melekat di kepalaku menggunakan cermin besar. Sebuah kain halus nan lembut itu seolah-olah membuatku semakin aneh di cermin. Seperti bukan bayanganku, tapi bayangan orang lain.
Benda aneh ini selalu saja membuatku gerah. Risih. Ibuku selalu berkata, bahwa kita wajib menutup aurat dengan mulai dari yang terkecil. Yaitu menggunakan hijab aneh ini. Ibuku memang seorang perempuan penganut agam Islam sejak umur 35 tahun. Bahkan, setiap Ibu pergi ke mana pun, entah ke pasar, menjemputku di sekolah SD-ku, ia selalu mengenakan kain putih suci tersebut.
Aku sedikit kagum melihat pendirian Ibu yang selalu mengenakan hijab tanpa rasa gengsi maupun malu. Terlebih ketika Ibu berada di rumah sekalipun, penampilan Ibu tak luput dari hijab putihnya itu.
Tapi sebaliknya, Ayahku tidak seperti Ibu. Ia selalu pergi ke mana-mana tanpa menghiraukan kami. Entahlah, apa yang membuat ayah seperti itu. Tapi aku sependapat dengan ayah. Aku dan ayahku penganut sejati agama Shinto, Kyushu di Jepang. Tapi sayangnya, ayah telah meninggalkan kami ketika aku berumur tepat 7 tahun di hari ulang tahunku.
“Coba lihat di cermin, Sayang. Suteki desu ne1..” puji Ibu padaku. Aku masih terheran-heran. Bayangan siapa yang kini di hadapanku? Aku kah? Ah, tidak mungkin. “Kau sangat terlihat cantik dengan hijab  ini..” sambung Ibu cepat-cepat ketika aku ingin menyanggahnya.
Aku mendesah halus dan memanggilnya pelan, “Ibu..,”
“Ya, Sayang?” balas Ibuku dengan tepukan halus di kepalaku. “Untuk apa Ibu membelikanku kain ini? Padahal, Ibu tahu bukan? Aku dan Ayah penganut agama Shinto. Dan seperti yang ku ketahui, agama yang kupeluk tidak mewajibkan untuk menutupi rambut indahku..,” ujarku polos.
Ibu tertawa pelan mendengar pertanyaanku. Aku semakin penasaran. Sejurus kemudian Ibu keluar dari kamarku dan membawa vas yang berisi bunga-bunga indah. “Miyoshi, kemarilah, Nak. Duduklah dengan Ibu,” pinta ibuku dengan senyum yang terukir di kedua sisinya. Cantik sekali. Meskipun umur Ibu sekarang di makan usia. Ah, Ibu seperti remaja-remaja Korea yang pernah membintangi sebuah film. Seperti drama full house.
Aku mendekati Ibu yang duduk di kursi sofa kamarku dan kutatap matanya lekat-lekat. “Coba kau perhatikan vas ini.” Aku menatap vas itu dengan tatapan heran. Ada apa dengan vas itu? “Kau merasakan apa?”
“Aku tidak merasakan apa-apa.” ucapku datar.
“Sungguh?”
“Ya.”
Aku merasakan embusan napas pelan Ibu. Ia pasti kecewa karena apa yang ingin Ibu  sampaikan tidak dapat ku tangkap dengan baik. Tiba-tiba saja terlintas di pikiranku sebuah jawaban yang mungkin saja benar.
“Aku mengerti! Aku tahu, Ibu!” sorakku gembira di depannya. Ku lihat Ibuku begitu tersenyum sumringah ketika aku menemukan jawaban yang hanya sekilas terlintas di pikiranku. Ibuku kembali bersemangat menanyaiku. “Apa? Coba kau katakan, gadis manis!”
“Vas ini kurang sempurna.” Senyum Ibu semakin melebar. Mempertegas lesung pipit di kedua sisi pipi Ibu.
“Karena?”
“Ia butuh sesuatu untuk melengkapinya.” Ibu masih memandangiku dengan harapan agar aku bisa memuaskan hatinya. “Lalu?” ujar Ibu.
Aku mengambil bunga yang tidak jauh berada di samping Ibu.  Ku rapikan bunga tersebut dengan jari lentikku kemudian ku masukkan ke dalam vas yang sudah tua namun masih enak untuk di pandang. Aku sedikit kagum dengan benda di depanku ini. Sebuah vas berwarna kuning cerah dari plastik. Di sisinya tertempel sebuah pita pink yang indah. Di tambah pula bunga-bunga mawar cantik berwarna merah dan putih.
Sugoi desu yo!2 Kau memang gadis pintar, Miyoshi! Ibu sangat bangga padamu.” Ibu memelukku dan mencium keningku hangat. Aku tersenyum dan bertanya. “Jadi?”
Ibu melepaskan pelukannya dan duduk semakin mendekat di sampingku. “Begini, Sayang,” Ibu berdehem kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Bukankah kau tau, sebelum ada bunga-bunga cantik ini, vas ini begitu jelek untuk di lihat?” aku mengangguk.
“Lalu, apakah bunga itu untuk mempercantik sekaligus pelengkap vas tua itu, Bu?” sanggahku sebelum Ibu meneruskan kalimatnya. “Benar sekali, Nak.” Lalu, “Coba bayangkan jika vas tua itu tadi tanpa bunga-bunga cantik ini?” Ibu menyentuh satu bunga mawar merah.
Aku berpikir memutar otak. Membayangkan apa yang di ucapkan Ibu. Jelas-jelas vas itu kurang cantik. Lama-lama, aku tahu kalimat Ibu akan berujung ke mana.
“Tidak bagus, bukan? Nah, sekarang kembali ke pertanyaanmu tentang memakai hijab tadi. Umpamakan bunga itu hijab dan vas itu manusia. Manusia diciptakan Tuhan nyaris sempurna. Bahkan Tuhan, memerintahkan umatnya, khusunya kaum hawa—wanita-- untuk menjulurkan kain panjang ke seluruh dadanya untuk menutupi auratnya. Bukan hanya menutupi auratnya saja, Nak. Hijab itu juga untuk mempercantik diri sendiri. Membuat lebih anggun dan percaya diri, bahkan kau akan di sayang Tuhan melalui nikmat-Nya yang selalu kau rasakan setiap hari. Seperti saat ini..,”
Saat ini? Ya, aku memang bersyukur telah diberi Ibu seperti Ibuku. Ibu yang selalu menyayangiku dan sekalipun tak pernah memaksaku untuk berpindah ke agamanya. Ia hanya memberiku semangat dan keyakinan tentang agama Islam yang memang benar-benar membimbing ke jalan Surga Tuhan kelak nanti.
Ku renungkan sekali lagi ‘ceramah aneh’ dari mulut Ibu. Allah? Oh ya, aku tahu. Dia adalah Tuhan yang selalu di puja-puja Ibu. Aku pernah terbangun ketika waktu sepertiga malam. Aku melihat Ibu bangun seorang diri, kemudian mengambil air—wudhu—dan melaksanakan shalat. Entah shalat apa yang dilaksanakan Ibu saat itu. Dalam shalatnyapun pernah ku dengar Ibu sering sekali menyebut nama ‘Allah’. Padahal waktu aku sedang mengintip dari balik jendela, aku tidak menemukan Allah disana. Aneh bukan?
Ya. Memang aneh untuk orang sepertiku; anak kecil yang baru saja menginjak kepala 1.
Tadi kata Ibu, Jilbab untuk mempercantik diri. Setelah ku pikir-pikir, memang benar. tanpa basa-basi aku langsung berlari kecil menuju cermin besarku. Ku liukkan badanku ke kanan, kemudian ke kiri, aku berpose senyum dan ku perlihatkan sederet gigi putihku. Rambutku yang cokelat mudapun tidak terlihat sama sekali, karena terbungkus rapi menjadi satu ke dalam jilbab yang ku pakai saat ini.
Ibu tersenyum melihatku bertingkah laku seperti ini. “Bagaimana? Lebih anggunkan? Kau terlihat cantik seperti bidadari,” lagi-lagi Ibu memujiku. Aku tertawa geli. Ibu memang pintar membuatku salah tingkah.
Pikiranku melayang pada saat musim panas tahun lalu, warga Jepang sibuk mempersiapkan perayaan pesta kembang api Hanabi Takai. Beribu-ribu hingga puluhan ribu kembang api dipersiapkan untuk merayakan pesta di musim panas.
Saat merayakan Hanabi Takai, warga Jepang, khususnya kaum perempuan berbondong-bondong memakai pakaian tradisional Jepang, seperti Yukata atau Kimono. Saat itu, warga Jepang memang diharuskan untuk memakai pakaian semenarik mungkin agar dapat menarik perhatian para turis yang datang. Dan saat itu satu-satunya perempuan Jepang yang memakai hijab adalah I-bu-. Ya, hanya Ibuku. Bahkan ia sempat memakai cadar—penutup hidung hingga dagu—berwarna hitam polos.
Dan seperti yang ku katakan sebelumnya. Ibu tidak malu bahkan Ibu lebih percaya diri dengan penampilan Islaminya. Meskipun Ibu baru memeluk agama islam tiga tahun lalu, ketika kami masih berada di pulau Hokkaido.
Dan pada hari ini, jam ini, detik ini, aku mengikrarkan dua kalimat syahadat di hadapan dan di dalam bimbingan Ibu. Rasanya sejuk sekali hati ini ketika aku mengucapkan dua kalimat itu. Aku sangat bersyukur sekali, bisa masuk agama Islam dengan hidayah yang di berikan Allah kepadaku lewat Ibuku. Totemu shiawase desu3 . Dan dengan bismillahirrahmanirrahim, aku berjanji tidak akan melanggar syariat-syariat agama Islam yang sejak zaman nabi telah di tetapkan.
Aku berjanji akan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, Tuhan Ibu yang kini juga menjadi Tuhanku. Dan aku yakin, Allah maha mendengar lagi maha pengampun. []
___________________________ 
Bagus ya1
Hebat2
Aku sangat bahagia3


____________
Nb: omong-omong ini tulisan dari tahun berapa ya, sepertinya lama sekali tapi baru sempet publish :'Dv

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...