Actually, cerpen ini pernah masuk antologi cerpen yang diterbitin sama indie publisher. Tapi jujur, masih rada belum puas sih :v
Well, happy Reading!
I am and My New Hijaab
Aku
memandangi jilbab unguku yang melekat di kepalaku menggunakan cermin besar.
Sebuah kain halus nan lembut itu seolah-olah membuatku semakin aneh di cermin.
Seperti bukan bayanganku, tapi bayangan orang lain.
Benda aneh
ini selalu saja membuatku gerah. Risih. Ibuku selalu berkata, bahwa kita wajib
menutup aurat dengan mulai dari yang terkecil. Yaitu menggunakan hijab aneh
ini. Ibuku memang seorang perempuan penganut agam Islam sejak umur 35
tahun. Bahkan, setiap Ibu pergi ke mana pun, entah ke pasar, menjemputku di
sekolah SD-ku, ia selalu mengenakan kain putih suci tersebut.
Aku sedikit
kagum melihat pendirian Ibu yang selalu mengenakan hijab tanpa rasa gengsi
maupun malu. Terlebih ketika Ibu berada di rumah sekalipun, penampilan Ibu tak luput dari hijab putihnya itu.
Tapi
sebaliknya, Ayahku tidak seperti Ibu. Ia selalu pergi ke mana-mana tanpa
menghiraukan kami. Entahlah, apa yang membuat ayah seperti itu. Tapi aku
sependapat dengan ayah. Aku dan ayahku penganut sejati agama Shinto, Kyushu di Jepang. Tapi sayangnya, ayah
telah meninggalkan kami ketika aku berumur tepat 7 tahun di hari ulang tahunku.
“Coba lihat
di cermin, Sayang. Suteki desu ne1..” puji Ibu padaku. Aku masih terheran-heran. Bayangan siapa yang kini di hadapanku?
Aku kah? Ah, tidak mungkin. “Kau sangat terlihat cantik dengan hijab ini..”
sambung Ibu cepat-cepat ketika aku ingin menyanggahnya.
Aku mendesah
halus dan memanggilnya pelan, “Ibu..,”
“Ya,
Sayang?” balas Ibuku dengan tepukan halus di kepalaku. “Untuk apa Ibu
membelikanku kain ini? Padahal, Ibu tahu bukan? Aku dan Ayah penganut agama
Shinto. Dan seperti yang ku ketahui, agama yang kupeluk tidak mewajibkan
untuk menutupi rambut indahku..,” ujarku polos.
Ibu tertawa
pelan mendengar pertanyaanku. Aku semakin penasaran. Sejurus kemudian Ibu
keluar dari kamarku dan membawa vas yang berisi bunga-bunga indah. “Miyoshi,
kemarilah, Nak. Duduklah dengan Ibu,” pinta ibuku dengan senyum yang terukir di
kedua sisinya. Cantik sekali. Meskipun umur Ibu sekarang di makan usia. Ah,
Ibu seperti remaja-remaja Korea yang pernah membintangi sebuah film. Seperti drama full house.
Aku
mendekati Ibu yang duduk di kursi sofa kamarku dan kutatap matanya
lekat-lekat. “Coba kau perhatikan vas ini.” Aku menatap vas itu dengan tatapan
heran. Ada apa dengan vas itu? “Kau merasakan apa?”
“Aku tidak
merasakan apa-apa.” ucapku datar.
“Sungguh?”
“Ya.”
Aku
merasakan embusan napas pelan Ibu. Ia pasti kecewa karena apa yang ingin Ibu
sampaikan tidak dapat ku tangkap dengan baik. Tiba-tiba saja terlintas di
pikiranku sebuah jawaban yang mungkin saja benar.
“Aku
mengerti! Aku tahu, Ibu!” sorakku gembira di depannya. Ku lihat Ibuku begitu
tersenyum sumringah ketika aku menemukan jawaban yang hanya sekilas terlintas
di pikiranku. Ibuku kembali bersemangat menanyaiku. “Apa? Coba kau katakan,
gadis manis!”
“Vas ini
kurang sempurna.” Senyum Ibu semakin melebar. Mempertegas lesung pipit di
kedua sisi pipi Ibu.
“Karena?”
“Ia butuh
sesuatu untuk melengkapinya.” Ibu masih memandangiku dengan harapan agar aku
bisa memuaskan hatinya. “Lalu?” ujar Ibu.
Aku
mengambil bunga yang tidak jauh berada di samping Ibu. Ku rapikan bunga tersebut dengan jari
lentikku kemudian ku masukkan ke dalam vas yang sudah tua namun masih enak
untuk di pandang. Aku sedikit kagum dengan benda di depanku ini. Sebuah vas
berwarna kuning cerah dari plastik. Di sisinya tertempel sebuah pita pink yang
indah. Di tambah pula bunga-bunga mawar cantik berwarna merah dan putih.
“Sugoi
desu yo!2 Kau memang
gadis pintar, Miyoshi! Ibu sangat bangga padamu.” Ibu memelukku dan mencium
keningku hangat. Aku tersenyum dan bertanya. “Jadi?”
Ibu melepaskan pelukannya dan duduk semakin mendekat di sampingku. “Begini,
Sayang,” Ibu berdehem kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Bukankah kau tau,
sebelum ada bunga-bunga cantik ini, vas ini begitu jelek untuk di lihat?” aku
mengangguk.
“Lalu,
apakah bunga itu untuk mempercantik sekaligus pelengkap vas tua itu, Bu?”
sanggahku sebelum Ibu meneruskan kalimatnya. “Benar sekali, Nak.” Lalu, “Coba
bayangkan jika vas tua itu tadi tanpa bunga-bunga cantik ini?” Ibu menyentuh
satu bunga mawar merah.
Aku berpikir
memutar otak. Membayangkan apa yang di ucapkan Ibu. Jelas-jelas vas itu kurang
cantik. Lama-lama, aku tahu kalimat Ibu akan berujung ke mana.
“Tidak
bagus, bukan? Nah, sekarang kembali ke pertanyaanmu tentang memakai hijab
tadi. Umpamakan bunga itu hijab dan vas itu manusia. Manusia diciptakan
Tuhan nyaris sempurna. Bahkan Tuhan, memerintahkan umatnya, khusunya kaum
hawa—wanita-- untuk menjulurkan kain panjang ke seluruh dadanya untuk menutupi
auratnya. Bukan hanya menutupi auratnya saja, Nak. Hijab itu juga untuk
mempercantik diri sendiri. Membuat lebih anggun dan percaya
diri, bahkan kau akan di sayang Tuhan melalui nikmat-Nya yang selalu kau rasakan
setiap hari. Seperti saat ini..,”
Saat ini?
Ya, aku memang bersyukur telah diberi Ibu seperti Ibuku. Ibu yang selalu
menyayangiku dan sekalipun tak pernah memaksaku untuk berpindah ke agamanya.
Ia hanya memberiku semangat dan keyakinan tentang agama Islam yang memang
benar-benar membimbing ke jalan Surga Tuhan kelak nanti.
Ku renungkan
sekali lagi ‘ceramah aneh’ dari mulut Ibu. Allah? Oh ya, aku tahu. Dia adalah
Tuhan yang selalu di puja-puja Ibu. Aku pernah terbangun ketika waktu
sepertiga malam. Aku melihat Ibu bangun seorang diri, kemudian mengambil
air—wudhu—dan melaksanakan shalat. Entah shalat apa yang dilaksanakan Ibu saat
itu. Dalam shalatnyapun pernah ku dengar Ibu sering sekali menyebut nama
‘Allah’. Padahal waktu aku sedang mengintip dari balik jendela, aku tidak
menemukan Allah disana. Aneh bukan?
Ya. Memang
aneh untuk orang sepertiku; anak kecil yang baru saja menginjak kepala 1.
Tadi kata Ibu, Jilbab untuk mempercantik diri. Setelah ku pikir-pikir, memang benar.
tanpa basa-basi aku langsung berlari kecil menuju cermin besarku. Ku liukkan
badanku ke kanan, kemudian ke kiri, aku berpose senyum dan ku perlihatkan
sederet gigi putihku. Rambutku yang cokelat mudapun tidak terlihat sama sekali,
karena terbungkus rapi menjadi satu ke dalam jilbab yang ku pakai saat ini.
Ibu tersenyum melihatku bertingkah laku seperti ini. “Bagaimana? Lebih anggunkan?
Kau terlihat cantik seperti bidadari,” lagi-lagi Ibu memujiku. Aku
tertawa geli. Ibu memang pintar membuatku salah tingkah.
Pikiranku
melayang pada saat musim
panas tahun lalu, warga Jepang sibuk mempersiapkan perayaan pesta kembang api Hanabi Takai. Beribu-ribu hingga
puluhan ribu kembang api dipersiapkan untuk merayakan pesta di musim panas.
Saat merayakan Hanabi Takai, warga
Jepang,
khususnya kaum perempuan berbondong-bondong memakai pakaian tradisional Jepang,
seperti Yukata
atau Kimono. Saat itu, warga Jepang memang diharuskan untuk memakai
pakaian semenarik mungkin agar dapat menarik perhatian para turis yang
datang. Dan saat itu satu-satunya perempuan Jepang yang memakai
hijab adalah I-bu-. Ya, hanya Ibuku. Bahkan ia sempat memakai
cadar—penutup hidung hingga dagu—berwarna hitam polos.
Dan seperti
yang ku katakan sebelumnya. Ibu tidak malu bahkan Ibu lebih percaya diri
dengan penampilan Islaminya. Meskipun Ibu baru memeluk agama islam tiga tahun
lalu, ketika kami masih berada di pulau Hokkaido.
Dan pada
hari ini, jam ini, detik ini, aku mengikrarkan dua kalimat syahadat di hadapan
dan di dalam bimbingan Ibu. Rasanya sejuk sekali hati ini ketika aku
mengucapkan dua kalimat itu. Aku sangat bersyukur sekali, bisa masuk agama
Islam dengan hidayah yang di berikan Allah kepadaku lewat Ibuku. Totemu shiawase desu3 . Dan
dengan bismillahirrahmanirrahim, aku
berjanji tidak akan melanggar syariat-syariat agama Islam yang sejak zaman nabi
telah di tetapkan.
Aku berjanji
akan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, Tuhan Ibu yang kini juga
menjadi Tuhanku. Dan aku yakin, Allah maha mendengar lagi maha pengampun. []
___________________________
Bagus ya1
Hebat2
Aku sangat
bahagia3
____________
Nb: omong-omong ini tulisan dari tahun berapa ya, sepertinya lama sekali tapi baru sempet publish :'Dv
Komentar