I Walk Alone
“Ini gila, asal kau tahu!!!!”
“Oh yeah? I think no.”
“Kau—“
“Wha—“
“GET OUT, PLEASE!!”
***
Di sepanjang
jalan, aku menelusuri bangunan-bangunan kuno khas Belanda. Bangunan ini bercat putih
pucat. Dan anehnya, bangunan tua ini mempunyai lorong tak berujung, tanpa pintu
dan jalan keluar. Ya, seperti derita dalam kisah hidupku. Sakitnya menusuk kalbu yang mungkin akan ku bawa sampai
ajal menjemputku.
Wahai
pujangga yang dicinta, tidakkah kau bisa merasakan? Bagaimana perasaanmu ketika
hari bahagia itu datang, kemudian tepat di mana kau harus bahagia, orang yang
kau cinta pergi dari pelukanmu? Masihkah ada harapan untuk bertahan?
Oh, itu sungguh menyakitkan. Begitu pedih menyayat hati. Alunan
kidung kematian membuat hatiku menjerit ngeri. Tak tertahankan sampai air
mataku menetes satu, dua, tiga, dan tak dapat ku bendung lagi.
Aku berhenti berjalan. Menyalakan
obor yang nyaris redup oleh air mataku. Tiba-tiba aku melihat sepasang sejoli
yang sedang memadu kasih, aku tertawa. Ya, tertawa keras hingga air mata pun berjatuhan lagi. Sampai
rembulan datang silih berganti, aku masih tertawa, lalu menangis lagi.
Membayangkan begitu bodohnya aku di lahirkan di bumi.
Awan
mulai tampak kehitaman, Guntur pun mulai bersahutan. Burung-burung berlari kecil
mencari tempat sandiwara yang aman, sebelum kemudian mereka mengepakkan sayap dan buliran air itu pun jatuh membasahi bumi lalu mengeluarkan aroma khas saat hujan tiba.
Ingatanku kembali bernostalgia ke
masa lalu saat bersama Frans. Ketika mulut masih semanis kojek, dan ketika
untaian kata bak rayuan Romeo Juliet dalam kisah Shakespeare. Namun nyatanya, bukan harapan yang kudapatkan, tapi
kepahitan yang memang sesungguhnya terjadi di depan mata. “Hou je van me?” aku
berkata menyelidik, namun penuh harap.
“Sorry, ik kan het niet.” Frans tak
acuh dengan raut wajah datar.
“Waarom?!”
“Het spijt me.. Het spijt me..”
“...”
***
Kini aku disini. Berjalan dengan meratapi dan
menyesali seorang diri. Selalu menyalahkan diri sendiri karena telah menodai
diri. Mungkin saat ini aku adalah manusia paling serakah dan gila. Yang tak
tahu malu dan terus memaksakan diri untuk berbuat hina menodai agama. Pernah
suatu hari aku ingin bunuh diri dan melakukan aborsi. Tapi niat itu ku urungkan
lantaran ku ingat pesan Ibu agar bersikap bijak dalam mengambil keputusan.
Aku
masih tertawa dalam sepi. Tertawa hingga tak ada seorang pun yang berani
menatap wajahku. Aku mengambil sebilah pisau yang ku selipkan di kantong sweaterku. Ujungnya runcing. Warnanya perak mengilat tertimpa
sinar rembulan.
Perlahan
namun pasti, ku dekatkan urat nadiku ke ujung pisau. Ku sayat perlahan hingga
air hujan menyemburatkan warna merah segar. Tapi, lihatlah sekali lagi! Aku
masih bisa tertawa. Tertawa riang bersama para malaikat yang membawaku ke alam lain.
[]
Komentar