Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com
Seorang pemuda duduk di balkon
dengan ditemani dua cangkir kopi hangat. Sesekali, ia tersenyum ketika serpihan
ingatan yang hendak ia lupakan datang kembali. Sejenak kepalanya menengadah
menatap lautan bintang di atas langit, kemudian pandanganya turun, beralih pada
dua cangkir kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Tepat saat itu, matanya
menerawang jauh, menembus ruang dan waktu hingga bayangan nostalgia kembali
terulang jelas di benaknya..
***
Java
Arabica Coffe.
Tulis si pelayan dalam notes
kecilnya. Sesudah pelayan itu benar-benar pergi dari meja nomor 23, seorang
pemuda dengan gaya kasual, mulai menampakkan wajah keheranan. “Kopi?” ia
mendengus. “Kau ini aneh, Koika. Setahuku, wanita mana pun lebih menyukai teh
dan susu atau minuman yang manis-manis.”
Gadis
bernama Koika hanya tersenyum tipis mendengar pendapat Pierre—pemuda yang duduk
di seberangnya. “Dengan minum kopi, kau seolah memperlihatkan pada semua orang
bahwa kehidupan itu sangat kejam.” katanya lagi.
Koika
tak menggubris, tangannya sibuk memainkan gadget. “Di sini tertulis bahwa
makanan yang dikonsumsi tidak boleh mengandung protein tinggi dan harus rendah
lemak. Kemudian untuk sayur dan buah-buahan
diutamakan seperti brokoli, apel, ceri, nanas, kol, dan pir. Nah, dengan
melakukan pola makan sehat serta gizi seimbang seperti itu, besar kemungkinan
reaksi—”
Tangan
Pierre tiba-tiba merampas ponsel milik Koika dan menutup aplikasi browser yang masih terbuka. “Hentikan
omong kosongmu. Bisa tidak kau melupakannya sebentar dan menjawab pertanyaanku?”
Koika
terdiam, menatap Pierre bingung. “Pertanyaan? Kau menanyaiku?”
Pierre
menghela napas, “Ralat. Tapi, pernyataanku mengenai minuman favoritmu. Kau biasanya selalu mencak-mencak saat aku
mengomentari apapun kesukaanmu.” ucapnya dengan penekanan pada kata minuman favoritmu.
“Tentang kopi,
maksudmu?” Koika tertawa pelan. Matanya menyipit dan tampak bercahaya akibat
paparan sinar matahari yang mulai memanaskan tubuh. “Kau tidak akan pernah bisa
memaknai kehidupan tanpa mencintai kopi, Pierre. Kopi memang hitam, tapi
filosofinya tidak sekejam itu. Kopi memang tidak semenawan strawberry, tapi
cita rasa dan aromanya sangat khas di lidah setiap orang.”
Pierre mendecak,
tangannya terlipat di depan dada. “Sok tahu sekali.”
Koika yang merasa
diremehkan, berusaha tak acuh. “Terserah, tapi kembalikan dulu ponselku!”
“Ambil saja sendiri
kalau kau bisa.” Pierre mencoba menangkis tangan Koika yang mulai menyerang
dari sudut mana pun. Setelah lama bertahan dengan serangan mautnya dan tidak
berhasil, Koika kembali duduk di tempat. Mulutnya mengerucut, jengkel dengan
perilaku Pierre.
Saat melihat mimik
jengkel tersebut, Pierre malah mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah
Koika. “Memang enak? Nih.” tangan kanan Pierre mengulurkan ponsel. Sedangkan
tangan kirinya sukses menjitak kepala Koika pelan. Sambil tersenyum tanpa
merasa bersalah, Pierre berujar, “Kau memang gadis keras kepala, jadi jangan
salahkan jika aku—”
“Apa?” tantang Koika.
Matanya membulat.
“Tutup matamu.” pinta
Pierre tiba-tiba.
Koika sedikit kaget, dengan
cepat ia menggelengkan kepala. Otaknya mulai berpikiran negatif. Jangan-jangan.. “Ah, tidak. Tidak mau.”
“Sungguh?” goda Pierre,
tatapannya berubah jail. “Ya sudah.” Pierre pura-pura kesal. Wajahnya kembali
datar. Dalam hatinya ia ingin Koika penasaran kemudian menuruti permintaannya.
Namun yang terlihat adalah sebaliknya. Koika masih bergeming. Tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin Pierre memintanya
sekali lagi untuk menutup mata. Seperti orang kehilangan harapan, realita yang
terjadi berikutnya adalah keheningan
yang mulai melanda.
Selang beberapa detik
kemudian, seorang pelayan dengan satu nampan di atas tangan kirinya tampak
berjalan menuju meja nomor 23. Pierre yang tidak menyukai keheningan langsung
mengalihkan topik pembicaraan. Ketika pesanan mereka datang, mereka masih
bertukar cerita sambil tertawa-tawa. Lupa, bahwa sesuatu telah terjadi di hidup
mereka. Lupa, bahwa kapan saja salah satu dari mereka harus mengalah. Lupa,
bahwa hari-hari mereka akan segera berubah.
***
Setelah menghabiskan satu jam di
kafe ‘Piazza Di Roma Autogrill’, Pierre memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan
meninggalkan Koika sendirian. Tentu bukan karena Pierre ingin menemui gadis
lain, tetapi karena ada sesuatu hal yang harus ia urus segera.
“It’s okay, I go first?” tanya Pierre.
Koika
mengembuskan napas berat. Sejujurnya, ia ingin pulang bersama pemuda di
depannya itu tapi sepertinya, tidak ada sinyal yang membuat Pierre mengerti. “Shall I deliver you? Aku khawatir bila
di tengah jalan penya—”
“—No no no.” potong Pierre cepat. “Aku bisa sendiri. Jangan cemaskan
aku.” Pierre meyakinkan Koika. Tangannya kemudian mengambil sebuah bill, lalu berdiri dari tempat duduknya.
Sebelum mengucapkan kata perpisahan, Pierre menepuk bahu Koika pelan lalu
tersenyum manis. “Bye, jaga dirimu
baik-baik, ya.”
Koika mengangguk,
bibirnya melengkung lama. Hatinya kemudian berdoa, semoga Tuhan selalu
melindungi orang-orang yang ia sayangi kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Termasuk Pierre. Pemuda yang selalu bersemayam tenang dalam hati kecilnya.
***
Udara siang hari sedikit demi
sedikit terkontaminasi dengan asap kendaraan yang mulai memadat di sepanjang
jalan lampu merah. Koika yang tengah berada di dalam taksi dan ikut terjebak di
antara kemacetan itu, berusaha menghibur diri dengan menyalakan ponsel.
Tiba-tiba, Pierre yang beberapa waktu lalu memutuskan untuk balik lebih dulu
karena ada sesuatu hal yang harus ia urus, mengirimi pesan singkat untuknya.
Nnti
mlm buatkan aku secangkir kopi, ya? Aku ingin brbagi sesuatu padamu.
Koika tersenyum puas
saat membaca pesan singkat dari Pierre. Ia kemudian mengetikkan sebuah balasan:
Hmm, jd skrg kau suka kopi? Sounds good!
:p
Sepuluh detik kemudian,
Pierre membalas: Aku akn suka jk kau
suka. Meski kali ini sedikit terpaksa.
Koika: Jgn begitu, kau ingat kan, kopi adalah
saksi sekaligus perantara yg menghubungkan keakraban kita?
Pierre: Kau selalu membahas soal itu. Pokoknya, tunggu
aku d rmhmu pukul 7. Ingat, don’t go before I come.
Koika: Tp btw, kau ingin kopi asal negara mana? Kl
aku lebih byk menyimpan kopi hasil impor Indonesia krn rasanya so delicious dan
tidak ada bandignya. Really. Spt: Sulawesi Toraja coffe, mocha Java coffe, dan
jg Java Arabica coffe.
Pierre: Hmm, sptnya aku tertarik dg Sulawesi Toraja
coffe. Buatkan 1 spesial untukku, ya..
Setelah
membaca pesan singkat terakhir dari Pierre, Koika mengatupkan matanya sebentar.
Dengan naungan langit Kota Roma, Italia, ia berjuang menelaahi hidupnya dengan menarik
benang merah kopi. Karena di mana ada kopi, selalu ada sesuatu yang menunggu untuk
terjadi di perjalanan hidupnya. Mulai dari kasus meninggalnya kedua orang tua
Koika hingga dipertemukannya ia dengan Pierre. Mungkin ini bukan sebuah
kebetulan belaka, melainkan sebuah takdir yang harus ia jalani. Meski tidak
sesuai dengan yang ia harapkan, ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk
merasakan hidup di dunia.
Ya,
begitulah Koika. Ia memang bukan gadis penuntut apalagi pemaksa jika salah satu
harapannya tidak terwujud. Ia hanya takut jika harapannya seperti ingin
memiliki Pierre terkabul, suatu hari akan ada kejadian tak diinginkan yang
terjadi. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk tidak berharap lebih, apalagi
setelah tahu tentang satu kebenaran dari pemuda bernama lengkap Pierre Revado itu.
***
“Melamunkanku, ya?” sebuah suara
tiba-tiba menggema di telinga Koika.
Koika menoleh dan
tertawa kecil saat mendapati wajah seseorang yang dinantikannya telah datang.
“Sepertinya lebih dari itu, jika aku merindukanmu bagaimana?” ia kemudian
berdiri dari duduknya yang memandang langit hitam di teras atas.
“Jika begitu, maka aku
yang akan lebih dari sekadar merindukanmu, Koika.” jawab Pierre lembut. Koika pun
tersipu. Matanya tidak berani menatap Pierre terlalu lama. Pierre yang
melihatnya lagi-lagi mengeluarkan senyum termanisnya.
“Oh ya, ini. Aku
membuatnya spesial untukmu. Sulawesi
Toraja coffe.” Koika meletakkan kopi buatannya tepat di depan Pierre yang
mengambil duduk di meja bundar dekat jendela kaca.
Tanpa banyak bicara,
Pierre langsung meminumnya pelan-pelan. Mencoba merasakan keistimewaan kopi
yang selalu dibanggakan Koika—gadis pecinta kopi yang sukses mencuri hatinya hingga
sekarang. “Hmm..” gumamnya ditengah-tengah tegukkan.
“Kopi ini gurih-manis.
Aku tidak meraskan pahit sedikit pun. Kau yakin ini kopi, heh?” ledeknya
setelah meminum habis kopi khas Toraja. Koika yang mendengar sedikit
tersinggung, melihat hal itu, Pierre segera memperbaiki ucapannya. Jika tidak,
ia takut Koika akan mengomelinya sepanjang malam. “Ta..tapi rasanya lumayan,
kok. Ada aroma cokelat yang masih bisa kurasakan di lidahku. Hmm.. serius. Aku
tidak bohong.”
“Baiklah, kalau begitu
sekarang katakan. Mengapa kau kemari dan meyuruhku membuatkan kopi tiba-tiba
lalu—“
“Selamat ulang tahun.”
“A-apa..”
“Semoga Tuhan
memberkatimu, menjauhkanmu dari masalah, dan yang paling penting.. semoga
seluruh semesta merestui hubungan kita malam ini.”
Koika mendesah pelan.
Tiba-tiba beberapa butir air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa
bahagia karena Pierre masih mengingat hari di mana ia dilahirkan di dunia.
“Terima kasih, Pierre. Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari lahirku.”
ujar Koika terharu. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu lagi tapi ia
tidak mampu untuk melakukannya.
Pierre kemudian menatap
Koika dalam. Mengamati lekuk wajahnya yang kian hari kian ingin ia miliki. Ia
lalu tersenyum. Mungkin, saat inilah waktu yang tepat baginya untuk menjadikan
Koika sebagai ratu di hatinya. “Koika.. aku..aku sangat mencintaimu. Maukah kau
menjadi kekasihku?” tanya Pierre. Tangannya kemudian mengambil sebuket mawar
yang di simpannya di belakang kursi.
Koika menangis dalam
diam. Ini adalah momen terindah dalam hidupnya. Dicintai oleh orang yang juga
ia cintai. Tangannya kemudian mengambil buket mawar dari tangan Pierre. Lalu
berkata, “Aku akan menyimpan bunga mawar ini. Tapi untuk jawabannya.. bisa kah
kau menungguku selama tiga hari?”
“Bahkan jika kau mau,
satu tahun pun aku masih akan menunggumu.”
Koika tersenyum dengan
sisa-sisa air mata yang mengering. “Kalau begitu, satu tahun saja, ya..”
Pierre mendengus kesal.
“Kau mau menyiksaku, hmm?”
Koika tertawa geli. Ia
lalu bersiap lari karena seringai jail Pierre mulai tampak di wajahnya. Benar
saja, tidak lama setelah itu, Pierre tiba-tiba mengejar Koika dengan gemas.
“Awas kau, ya! Kau akan menyesal jika tidak menerimaku!” kata Pierre sambil
terus mengejar Koika. Malam itu, lagi-lagi kopi yang menjadi saksi atas
kebahagiaan mereka. Kopi asal Indonesia yang mampu memberikan semangat baru
bagi orang yang meminumnya.
***
“Kau yakin, Nona Tyller?”
“Ya, dokter. Lakukan lah yang
terbaik.”
“Baiklah. Jadwal akan segera dikirim ke pasien dan kemarilah besok untuk
persiapan.”
“Terima kasih, saya akan usahakan
datang tepat waktu.”
“Bagus, kami akan menunggu.”
***
Dua minggu kemudian..
Pierre mendapatkan
beberapa berkas dari pihak rumah sakit yang telah berusaha dengan baik
menyembuhkan penyakit ginjalnya. Namun sebagai gantinya, suasana hatinya
semakin memburuk. Ia bertanya-tanya, mengapa dengan teganya Koika meninggalkan
dirinya di saat detik-detik operasi cangkok ginjal akan dilakukan? Apa ia tidak
ingin melihatnya lagi sebagai manusia dengan ginjal bekas orang lain? Tapi
lihat faktanya, dokter telah berhasil menyelesaikan operasi mengerikan itu
tanpa melakukan kesalahan sedikit pun.
Koika..
kau di mana? Batin
Pierre dalam hati.
“Ada kiriman dari Nona
Tyller, Tuan.” Bibi Marige muncul dengan membawa sebuah kotak berwarna hitam
kecokelatan.
Saat mendengar kata
Tyller disebut-sebut oleh pembantu rumahnya, Pierre segera bangkit dari tempat
duduknya dan melihat ke bawah dari balkon rumahnya. Berharap seorang gadis yang
diinginkannya tampak di bola matanya.
“Tapi yang mengirimkan
ini ke sini Nona Emala, katanya dia sahabat Nona Tyller waktu kuliah.” jelas
Bibi Marige sambil memindahkan kotak berwarna gelap ke tangan Pierre.
Setelah Bibi Marige
pergi, Pierre dengan hati-hati mengamati kotak berukiran tulisan 'for my beloved, tomorrow' itu. Apa ini jawaban dari Koika saat malam
pengungkapan cinta itu, ya? Jika iya, mengapa bukan kau sendiri yang datang
untuk menemuiku, Koika? Kau di mana? Lagi-lagi Pierre berbicara dalam
hatinya. Saat hendak membukanya, ia menemukan sebuah gembok yang masih
terkunci. Untuk membukanya, gembok itu menyediakan empat huruf acak yang harus
diisi dengan benar.
“Koika, 5 huruf.
Pierre, 6 huruf. Emala, 5 huruf. Apa, ya.. A..a-ha, kopi! Ya, kopi! Kopi adalah
minuman khas yang menggambarkan Koika!” Pierre berseru seorang diri. Diputarnya
huruf-huruf itu sampai akhirnya bunyi ‘klik’
terdengar nyaring.
Berhasil!
Pierre kemudian
mengambil lembaran kertas yang dijepit rapi oleh Koika di dalam kotak tersebut.
Dengan perasaan was-was, ia membukanya lalu membacanya dengan tenang.
First
time I saw you, I feel that you was created to me from God
Pie..
Aku sama sekali tidak percaya dengan adanya ‘kebetulan’ di dunia ini. Seperti
halnya kedua orangtuaku yang tewas karena minum kopi berracun, juga pertemuan
kita yang terjadi akibat tumpahan kopi di celana jeansku. Kau tahu? Ketika itu,
ketika mataku dan matamu saling beradu pandang, aku merasa bahwa duniaku tidak
lagi hampa. Itu karena dirimu yang mampu membuatku merasa nyaman. Pie, sekarang
kau mengerti, kan, alasanku mengajakmu berkenalan waktu itu? Hingga akhirnya, sebuah
rasa yang mengganjal di hatiku mulai tumbuh dan terus tumbuh seiring kita
lewati waktu bersama hanya berdua. Tapi sayangnya, aku tidak berani
mengungkapkan perasaanku ini karena takut jika suatu hari kau akan
meninggalkanku lebih cepat. Apakah menurutmu tindakanku ini tepat, Pie?
Pie..
Kau harus tahu, bahwa aku tidak menyesal telah mengenalmu. Aku bahkan merasa,
bahwa aku adalah gadis beruntung yang dapat berkenalan denganmu. Kau memang
baik, meskipun sesekali wajah jailmu membuatku jengkel. Tapi mengertilah, hanya
wajahmu yang selalu kubayangkan setiap malam..
Pie..
Aku tahu saat kau menyatakan perasaanmu padaku, kau terlihat sedikit tegang.
Apa itu karena kau takut aku akan menolakmu? Hmm.. oh ya, mengenai jawaban, jawabannya
adalah.. tunggu setelah aku benar-benar keluar dari ruangan dengan ‘pasukan
berjas putih’, ya. Aku akan berusaha untuk menemuimu secepatnya. Karena aku
masih punya janji yang harus segera kutepati padamu tiga hari yang lalu. Tunggu
aku, ya. Karena aku akan menceritakan lebih lengkap perjalananku akhir-akhir
ini. Oke?
Pierre menghentikan
bacaannya. “Tunggu? Aku sudah menunggumu lebih dari tiga hari Koika! Kau masih
ingin menggantungkan berapa hari lagi?” Saat membuka lembar selanjutnya, Pierre
membaca tulisan tangan Koika lagi.
Jangan
lelah menungguku ya, kau pernah berkata padaku bahwa kau siap menungguku hingga
satu tahun, kan?
“Koika, aku tidak
percaya kau akan sekejam itu menyiksaku. Kau.. Kau.. kukira kau hanya bercanda
waktu bicara seperti itu..” Pierre mulai menahan rasa sakit hatinya. Saat itu
pula ia baru sadar, bahwa yang dimaksud Koika ‘pasukan berjas putih’ adalah
kumpulan dokter yang beroperasi mengambil satu ginjalnya untuk didonorkan pada
Pierre.
“Koika…!!!” Pierre
berteriak kencang. Emosinya mulai tidak terkontrol. “Kenapa! Kenapa kau melakukan
hal gila ini! Kenapa kau menyelamatkan nyawaku?! Kenapa kau memberi ginjal
dalam tubuhku ini?! Kenapa!” Pierre kini benar-benar menangis. Ia tidak habis
pikir, kenapa Koika bisa memiliki niat untuk mendonorkan ginjal padanya? Padahal,
ia bisa saja membayar lima kali lipat untuk mencari pendonor lain.
Aku
tahu kau akan marah setelah membaca suart ini, tapi setelah kuberi tahu tentang
apa yang sebenarnya terjadi, aku yakin kau akan terdiam dan lemas sepertiku. Pie..
hubungan yang harus kita jalani seharusnya adalah… kakak-beradik, bukan
sepasang kekasih yang saling mencintai. Ya, Pie.. Kau adalah kakak kandungku. Percayalah,
kalaupun kau tidak percaya, dokter akan memberimu beberapa berkas sebagai
buktinya. Dan jika kau masih belum percaya juga, kau bisa melaporkannya pada
polisi. Bukalah kasus Keluarga Tyller, keluarga yang pernah kehilangan satu
putra pada saat kecelakaan kereta api. Dua puluh tahun yang lalu.
Maaf,
maafkan aku harus berkata seperti ini. Aku juga bahkan baru tahu dua hari yang
lalu saat polisi memberitahuku bahwa kakak kandungku masih hidup. Dan dia
ternyata adalah orang yang selalu berada di sampingku. Terima kasih. Terima
kasih atas segalanya.
Oh
ya, Kak pie. Aku menulis ini dengan terpaksa jika suatu saat para ‘pasukan
berjas putih’ itu melakukan kesalahan pada saat mengambil organ terpentingku
untukmu.
Salam
hangat untuk orang-orang yang lama terpisah dan kini bersatu,
Semoga
kopi yang hangat selalu menyelimuti hidup kita,
Ko-Pi
(Koika-Pierre)
“Ja-jadi.. Koika.. kau..” Pierre
menelan ludah, tidak sanggup berkata apa-apa lagi selain diam dan menangis
sepanjang malam.
***
Seorang pemuda kembali terjaga saat
serpihan ingatan telah habis diingatnya. Ia kemudian mengambil secangkir kopi arabika,
kopi khas Indonesia sekaligus kopi kesukaan gadis masa lalunya. Dengan tenang,
ia berbicara sambil memandang kopi hitam yang kini berada di genggaman
tangannya. “Kau tahu, wahai kopi? Karena seorang gadis, aku bahkan rela
mencintaimu.”
Tanpa aba-aba,
tangannya langsung terangkat tinggi. “Cheers.
Untuk hubungan baru kita yang sempat tertunda..” katanya dengan membayangkan
wajah cantik adiknya, Koika Tyller. []
Komentar