Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #11



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com





Ko-Pi (Koika dan Pierre)

Seorang pemuda duduk di balkon dengan ditemani dua cangkir kopi hangat. Sesekali, ia tersenyum ketika serpihan ingatan yang hendak ia lupakan datang kembali. Sejenak kepalanya menengadah menatap lautan bintang di atas langit, kemudian pandanganya turun, beralih pada dua cangkir kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Tepat saat itu, matanya menerawang jauh, menembus ruang dan waktu hingga bayangan nostalgia kembali terulang jelas di benaknya..
***
Java Arabica Coffe. Tulis si pelayan dalam notes kecilnya. Sesudah pelayan itu benar-benar pergi dari meja nomor 23, seorang pemuda dengan gaya kasual, mulai menampakkan wajah keheranan. “Kopi?” ia mendengus. “Kau ini aneh, Koika. Setahuku, wanita mana pun lebih menyukai teh dan susu atau minuman yang manis-manis.”
            Gadis bernama Koika hanya tersenyum tipis mendengar pendapat Pierre—pemuda yang duduk di seberangnya. “Dengan minum kopi, kau seolah memperlihatkan pada semua orang bahwa kehidupan itu sangat kejam.” katanya lagi.
            Koika tak menggubris, tangannya sibuk memainkan gadget. “Di sini tertulis bahwa makanan yang dikonsumsi tidak boleh mengandung protein tinggi dan harus rendah lemak. Kemudian untuk sayur dan buah-buahan diutamakan seperti brokoli, apel, ceri, nanas, kol, dan pir. Nah, dengan melakukan pola makan sehat serta gizi seimbang seperti itu, besar kemungkinan reaksi—”
            Tangan Pierre tiba-tiba merampas ponsel milik Koika dan menutup aplikasi browser yang masih terbuka. “Hentikan omong kosongmu. Bisa tidak kau melupakannya sebentar dan menjawab pertanyaanku?”
            Koika terdiam, menatap Pierre bingung. “Pertanyaan? Kau menanyaiku?”
            Pierre menghela napas, “Ralat. Tapi, pernyataanku mengenai minuman favoritmu. Kau biasanya selalu mencak-mencak saat aku mengomentari apapun kesukaanmu.” ucapnya dengan penekanan pada kata minuman favoritmu.
“Tentang kopi, maksudmu?” Koika tertawa pelan. Matanya menyipit dan tampak bercahaya akibat paparan sinar matahari yang mulai memanaskan tubuh. “Kau tidak akan pernah bisa memaknai kehidupan tanpa mencintai kopi, Pierre. Kopi memang hitam, tapi filosofinya tidak sekejam itu. Kopi memang tidak semenawan strawberry, tapi cita rasa dan aromanya sangat khas di lidah setiap orang.”
Pierre mendecak, tangannya terlipat di depan dada. “Sok tahu sekali.”
Koika yang merasa diremehkan, berusaha tak acuh. “Terserah, tapi kembalikan dulu ponselku!”
“Ambil saja sendiri kalau kau bisa.” Pierre mencoba menangkis tangan Koika yang mulai menyerang dari sudut mana pun. Setelah lama bertahan dengan serangan mautnya dan tidak berhasil, Koika kembali duduk di tempat. Mulutnya mengerucut, jengkel dengan perilaku Pierre.
Saat melihat mimik jengkel tersebut, Pierre malah mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Koika. “Memang enak? Nih.” tangan kanan Pierre mengulurkan ponsel. Sedangkan tangan kirinya sukses menjitak kepala Koika pelan. Sambil tersenyum tanpa merasa bersalah, Pierre berujar, “Kau memang gadis keras kepala, jadi jangan salahkan jika aku—”
“Apa?” tantang Koika. Matanya membulat.
“Tutup matamu.” pinta Pierre tiba-tiba.
Koika sedikit kaget, dengan cepat ia menggelengkan kepala. Otaknya mulai berpikiran negatif. Jangan-jangan.. “Ah, tidak. Tidak mau.”
“Sungguh?” goda Pierre, tatapannya berubah jail. “Ya sudah.” Pierre pura-pura kesal. Wajahnya kembali datar. Dalam hatinya ia ingin Koika penasaran kemudian menuruti permintaannya. Namun yang terlihat adalah sebaliknya. Koika masih bergeming. Tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin Pierre memintanya sekali lagi untuk menutup mata. Seperti orang kehilangan harapan, realita yang terjadi berikutnya adalah  keheningan yang mulai melanda.
Selang beberapa detik kemudian, seorang pelayan dengan satu nampan di atas tangan kirinya tampak berjalan menuju meja nomor 23. Pierre yang tidak menyukai keheningan langsung mengalihkan topik pembicaraan. Ketika pesanan mereka datang, mereka masih bertukar cerita sambil tertawa-tawa. Lupa, bahwa sesuatu telah terjadi di hidup mereka. Lupa, bahwa kapan saja salah satu dari mereka harus mengalah. Lupa, bahwa hari-hari mereka akan segera berubah.
***
Setelah menghabiskan satu jam di kafe ‘Piazza Di Roma Autogrill’, Pierre memutuskan  untuk meninggalkan tempat tersebut dan meninggalkan Koika sendirian. Tentu bukan karena Pierre ingin menemui gadis lain, tetapi karena ada sesuatu hal yang harus ia urus segera.
            It’s okay, I go first?” tanya Pierre.
            Koika mengembuskan napas berat. Sejujurnya, ia ingin pulang bersama pemuda di depannya itu tapi sepertinya, tidak ada sinyal yang membuat Pierre mengerti. “Shall I deliver you? Aku khawatir bila di tengah jalan penya—”
“—No no no.” potong Pierre cepat. “Aku bisa sendiri. Jangan cemaskan aku.” Pierre meyakinkan Koika. Tangannya kemudian mengambil sebuah bill, lalu berdiri dari tempat duduknya. Sebelum mengucapkan kata perpisahan, Pierre menepuk bahu Koika pelan lalu tersenyum manis. “Bye, jaga dirimu baik-baik, ya.”
Koika mengangguk, bibirnya melengkung lama. Hatinya kemudian berdoa, semoga Tuhan selalu melindungi orang-orang yang ia sayangi kapan pun dan di mana pun mereka berada. Termasuk Pierre. Pemuda yang selalu bersemayam tenang dalam hati kecilnya.
***
Udara siang hari sedikit demi sedikit terkontaminasi dengan asap kendaraan yang mulai memadat di sepanjang jalan lampu merah. Koika yang tengah berada di dalam taksi dan ikut terjebak di antara kemacetan itu, berusaha menghibur diri dengan menyalakan ponsel. Tiba-tiba, Pierre yang beberapa waktu lalu memutuskan untuk balik lebih dulu karena ada sesuatu hal yang harus ia urus, mengirimi pesan singkat untuknya.
Nnti mlm buatkan aku secangkir kopi, ya? Aku ingin brbagi sesuatu padamu.
Koika tersenyum puas saat membaca pesan singkat dari Pierre. Ia kemudian mengetikkan sebuah balasan: Hmm, jd skrg kau suka kopi? Sounds good! :p
Sepuluh detik kemudian, Pierre membalas: Aku akn suka jk kau suka. Meski kali ini sedikit terpaksa.
Koika: Jgn begitu, kau ingat kan, kopi adalah saksi sekaligus perantara yg menghubungkan keakraban kita?
Pierre: Kau selalu membahas soal itu. Pokoknya, tunggu aku d rmhmu pukul 7. Ingat, don’t go before I come.
Koika: Tp btw, kau ingin kopi asal negara mana? Kl aku lebih byk menyimpan kopi hasil impor Indonesia krn rasanya so delicious dan tidak ada bandignya. Really. Spt: Sulawesi Toraja coffe, mocha Java coffe, dan jg Java Arabica coffe.
Pierre: Hmm, sptnya aku tertarik dg Sulawesi Toraja coffe. Buatkan 1 spesial untukku, ya..
            Setelah membaca pesan singkat terakhir dari Pierre, Koika mengatupkan matanya sebentar. Dengan naungan langit Kota Roma, Italia, ia berjuang menelaahi hidupnya dengan menarik benang merah kopi. Karena di mana ada kopi, selalu ada sesuatu yang menunggu untuk terjadi di perjalanan hidupnya. Mulai dari kasus meninggalnya kedua orang tua Koika hingga dipertemukannya ia dengan Pierre. Mungkin ini bukan sebuah kebetulan belaka, melainkan sebuah takdir yang harus ia jalani. Meski tidak sesuai dengan yang ia harapkan, ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan hidup di dunia.
            Ya, begitulah Koika. Ia memang bukan gadis penuntut apalagi pemaksa jika salah satu harapannya tidak terwujud. Ia hanya takut jika harapannya seperti ingin memiliki Pierre terkabul, suatu hari akan ada kejadian tak diinginkan yang terjadi. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk tidak berharap lebih, apalagi setelah tahu tentang satu kebenaran dari  pemuda bernama lengkap Pierre Revado itu.
***
“Melamunkanku, ya?” sebuah suara tiba-tiba menggema di telinga Koika.
Koika menoleh dan tertawa kecil saat mendapati wajah seseorang yang dinantikannya telah datang. “Sepertinya lebih dari itu, jika aku merindukanmu bagaimana?” ia kemudian berdiri dari duduknya yang memandang langit hitam di teras atas.
“Jika begitu, maka aku yang akan lebih dari sekadar merindukanmu, Koika.” jawab Pierre lembut. Koika pun tersipu. Matanya tidak berani menatap Pierre terlalu lama. Pierre yang melihatnya lagi-lagi mengeluarkan senyum termanisnya.
“Oh ya, ini. Aku membuatnya spesial untukmu. Sulawesi Toraja coffe.” Koika meletakkan kopi buatannya tepat di depan Pierre yang mengambil duduk di meja bundar dekat jendela kaca.
Tanpa banyak bicara, Pierre langsung meminumnya pelan-pelan. Mencoba merasakan keistimewaan kopi yang selalu dibanggakan Koika—gadis pecinta kopi yang sukses mencuri hatinya hingga sekarang. “Hmm..” gumamnya ditengah-tengah tegukkan.
“Kopi ini gurih-manis. Aku tidak meraskan pahit sedikit pun. Kau yakin ini kopi, heh?” ledeknya setelah meminum habis kopi khas Toraja. Koika yang mendengar sedikit tersinggung, melihat hal itu, Pierre segera memperbaiki ucapannya. Jika tidak, ia takut Koika akan mengomelinya sepanjang malam. “Ta..tapi rasanya lumayan, kok. Ada aroma cokelat yang masih bisa kurasakan di lidahku. Hmm.. serius. Aku tidak bohong.”
“Baiklah, kalau begitu sekarang katakan. Mengapa kau kemari dan meyuruhku membuatkan kopi tiba-tiba lalu—“
“Selamat ulang tahun.”
“A-apa..”
“Semoga Tuhan memberkatimu, menjauhkanmu dari masalah, dan yang paling penting.. semoga seluruh semesta merestui hubungan kita malam ini.”
Koika mendesah pelan. Tiba-tiba beberapa butir air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa bahagia karena Pierre masih mengingat hari di mana ia dilahirkan di dunia. “Terima kasih, Pierre. Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari lahirku.” ujar Koika terharu. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu lagi tapi ia tidak mampu untuk melakukannya.
Pierre kemudian menatap Koika dalam. Mengamati lekuk wajahnya yang kian hari kian ingin ia miliki. Ia lalu tersenyum. Mungkin, saat inilah waktu yang tepat baginya untuk menjadikan Koika sebagai ratu di hatinya. “Koika.. aku..aku sangat mencintaimu. Maukah kau menjadi kekasihku?” tanya Pierre. Tangannya kemudian mengambil sebuket mawar yang di simpannya di belakang kursi.
Koika menangis dalam diam. Ini adalah momen terindah dalam hidupnya. Dicintai oleh orang yang juga ia cintai. Tangannya kemudian mengambil buket mawar dari tangan Pierre. Lalu berkata, “Aku akan menyimpan bunga mawar ini. Tapi untuk jawabannya.. bisa kah kau menungguku selama tiga hari?”
“Bahkan jika kau mau, satu tahun pun aku masih akan menunggumu.”
Koika tersenyum dengan sisa-sisa air mata yang mengering. “Kalau begitu, satu tahun saja, ya..”
Pierre mendengus kesal. “Kau mau menyiksaku, hmm?”
Koika tertawa geli. Ia lalu bersiap lari karena seringai jail Pierre mulai tampak di wajahnya. Benar saja, tidak lama setelah itu, Pierre tiba-tiba mengejar Koika dengan gemas. “Awas kau, ya! Kau akan menyesal jika tidak menerimaku!” kata Pierre sambil terus mengejar Koika. Malam itu, lagi-lagi kopi yang menjadi saksi atas kebahagiaan mereka. Kopi asal Indonesia yang mampu memberikan semangat baru bagi orang yang meminumnya.
***
Kau yakin, Nona Tyller?
“Ya, dokter. Lakukan lah yang terbaik.”
Baiklah. Jadwal akan segera dikirim ke pasien dan kemarilah besok untuk persiapan.
“Terima kasih, saya akan usahakan datang tepat waktu.”
Bagus, kami akan menunggu.
***
Dua minggu kemudian..
Pierre mendapatkan beberapa berkas dari pihak rumah sakit yang telah berusaha dengan baik menyembuhkan penyakit ginjalnya. Namun sebagai gantinya, suasana hatinya semakin memburuk. Ia bertanya-tanya, mengapa dengan teganya Koika meninggalkan dirinya di saat detik-detik operasi cangkok ginjal akan dilakukan? Apa ia tidak ingin melihatnya lagi sebagai manusia dengan ginjal bekas orang lain? Tapi lihat faktanya, dokter telah berhasil menyelesaikan operasi mengerikan itu tanpa melakukan kesalahan sedikit pun.
Koika.. kau di mana? Batin Pierre dalam hati.
“Ada kiriman dari Nona Tyller, Tuan.” Bibi Marige muncul dengan membawa sebuah kotak berwarna hitam kecokelatan.
Saat mendengar kata Tyller disebut-sebut oleh pembantu rumahnya, Pierre segera bangkit dari tempat duduknya dan melihat ke bawah dari balkon rumahnya. Berharap seorang gadis yang diinginkannya tampak di bola matanya.
“Tapi yang mengirimkan ini ke sini Nona Emala, katanya dia sahabat Nona Tyller waktu kuliah.” jelas Bibi Marige sambil memindahkan kotak berwarna gelap ke tangan Pierre.
Setelah Bibi Marige pergi, Pierre dengan hati-hati mengamati kotak berukiran tulisan 'for my beloved, tomorrow' itu. Apa ini jawaban dari Koika saat malam pengungkapan cinta itu, ya? Jika iya, mengapa bukan kau sendiri yang datang untuk menemuiku, Koika? Kau di mana? Lagi-lagi Pierre berbicara dalam hatinya. Saat hendak membukanya, ia menemukan sebuah gembok yang masih terkunci. Untuk membukanya, gembok itu menyediakan empat huruf acak yang harus diisi dengan benar.
“Koika, 5 huruf. Pierre, 6 huruf. Emala, 5 huruf. Apa, ya.. A..a-ha, kopi! Ya, kopi! Kopi adalah minuman khas yang menggambarkan Koika!” Pierre berseru seorang diri. Diputarnya huruf-huruf itu sampai akhirnya bunyi ‘klik’ terdengar nyaring.
Berhasil!
Pierre kemudian mengambil lembaran kertas yang dijepit rapi oleh Koika di dalam kotak tersebut. Dengan perasaan was-was, ia membukanya lalu membacanya dengan tenang.

First time I saw you, I feel that you was created to me from God
Pie.. Aku sama sekali tidak percaya dengan adanya ‘kebetulan’ di dunia ini. Seperti halnya kedua orangtuaku yang tewas karena minum kopi berracun, juga pertemuan kita yang terjadi akibat tumpahan kopi di celana jeansku. Kau tahu? Ketika itu, ketika mataku dan matamu saling beradu pandang, aku merasa bahwa duniaku tidak lagi hampa. Itu karena dirimu yang mampu membuatku merasa nyaman. Pie, sekarang kau mengerti, kan, alasanku mengajakmu berkenalan waktu itu? Hingga akhirnya, sebuah rasa yang mengganjal di hatiku mulai tumbuh dan terus tumbuh seiring kita lewati waktu bersama hanya berdua. Tapi sayangnya, aku tidak berani mengungkapkan perasaanku ini karena takut jika suatu hari kau akan meninggalkanku lebih cepat. Apakah menurutmu tindakanku ini tepat, Pie?
Pie.. Kau harus tahu, bahwa aku tidak menyesal telah mengenalmu. Aku bahkan merasa, bahwa aku adalah gadis beruntung yang dapat berkenalan denganmu. Kau memang baik, meskipun sesekali wajah jailmu membuatku jengkel. Tapi mengertilah, hanya wajahmu yang selalu kubayangkan setiap malam..
Pie.. Aku tahu saat kau menyatakan perasaanmu padaku, kau terlihat sedikit tegang. Apa itu karena kau takut aku akan menolakmu? Hmm.. oh ya, mengenai jawaban, jawabannya adalah.. tunggu setelah aku benar-benar keluar dari ruangan dengan ‘pasukan berjas putih’, ya. Aku akan berusaha untuk menemuimu secepatnya. Karena aku masih punya janji yang harus segera kutepati padamu tiga hari yang lalu. Tunggu aku, ya. Karena aku akan menceritakan lebih lengkap perjalananku akhir-akhir ini. Oke?
Pierre menghentikan bacaannya. “Tunggu? Aku sudah menunggumu lebih dari tiga hari Koika! Kau masih ingin menggantungkan berapa hari lagi?” Saat membuka lembar selanjutnya, Pierre membaca tulisan tangan Koika lagi.
Jangan lelah menungguku ya, kau pernah berkata padaku bahwa kau siap menungguku hingga satu tahun, kan?
“Koika, aku tidak percaya kau akan sekejam itu menyiksaku. Kau.. Kau.. kukira kau hanya bercanda waktu bicara seperti itu..” Pierre mulai menahan rasa sakit hatinya. Saat itu pula ia baru sadar, bahwa yang dimaksud Koika ‘pasukan berjas putih’ adalah kumpulan dokter yang beroperasi mengambil satu ginjalnya untuk didonorkan pada Pierre.
“Koika…!!!” Pierre berteriak kencang. Emosinya mulai tidak terkontrol. “Kenapa! Kenapa kau melakukan hal gila ini! Kenapa kau menyelamatkan nyawaku?! Kenapa kau memberi ginjal dalam tubuhku ini?! Kenapa!” Pierre kini benar-benar menangis. Ia tidak habis pikir, kenapa Koika bisa memiliki niat untuk mendonorkan ginjal padanya? Padahal, ia bisa saja membayar lima kali lipat untuk mencari pendonor lain.
Aku tahu kau akan marah setelah membaca suart ini, tapi setelah kuberi tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, aku yakin kau akan terdiam dan lemas sepertiku. Pie.. hubungan yang harus kita jalani seharusnya adalah… kakak-beradik, bukan sepasang kekasih yang saling mencintai. Ya, Pie.. Kau adalah kakak kandungku. Percayalah, kalaupun kau tidak percaya, dokter akan memberimu beberapa berkas sebagai buktinya. Dan jika kau masih belum percaya juga, kau bisa melaporkannya pada polisi. Bukalah kasus Keluarga Tyller, keluarga yang pernah kehilangan satu putra pada saat kecelakaan kereta api. Dua puluh tahun yang lalu.
Maaf, maafkan aku harus berkata seperti ini. Aku juga bahkan baru tahu dua hari yang lalu saat polisi memberitahuku bahwa kakak kandungku masih hidup. Dan dia ternyata adalah orang yang selalu berada di sampingku. Terima kasih. Terima kasih atas segalanya.
Oh ya, Kak pie. Aku menulis ini dengan terpaksa jika suatu saat para ‘pasukan berjas putih’ itu melakukan kesalahan pada saat mengambil organ terpentingku untukmu.
Salam hangat untuk orang-orang yang lama terpisah dan kini bersatu,
Semoga kopi yang hangat selalu menyelimuti hidup kita,
 Ko-Pi
(Koika-Pierre)
“Ja-jadi.. Koika.. kau..” Pierre menelan ludah, tidak sanggup berkata apa-apa lagi selain diam dan menangis sepanjang malam.
***
Seorang pemuda kembali terjaga saat serpihan ingatan telah habis diingatnya. Ia kemudian mengambil secangkir kopi arabika, kopi khas Indonesia sekaligus kopi kesukaan gadis masa lalunya. Dengan tenang, ia berbicara sambil memandang kopi hitam yang kini berada di genggaman tangannya. “Kau tahu, wahai kopi? Karena seorang gadis, aku bahkan rela mencintaimu.”
Tanpa aba-aba, tangannya langsung terangkat tinggi. “Cheers. Untuk hubungan baru kita yang sempat tertunda..” katanya dengan membayangkan wajah cantik adiknya, Koika Tyller. []


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...