Langsung ke konten utama

Goresan Tinta #6


Prince in the month of Ramadan




Image result for masjid korea


“Hei, pemuda tampan. Kenapa kau selalu datang menjemputku untuk pulang ke Seoul? Kenapa kau selalu mengikutiku? Kau khawatir padaku? Untuk apa? Aku bersama Tuhan di sini. Kau tak perlu cemasi aku. Tenang lah, jika sudah tiba waktunya, aku akan menyusulmu untuk tinggal bersamamu di Seoul. Kau mengerti apa yang aku bicarakan? Sekarang pergilah..aku sudah memaafkanmu.”
Kalimat itu masih terngiang-ngiang jelas di telingaku. Mengingatkanku pada sosok gadis kecil berumur tujuh belas tahun. Ya, gadis kecil itu berasal dari Indonesia. Tubuhnya kecil tak terlalu tinggi. Dan yang sangat ku suka dari gadis itu adalah bola matanya. Begitu teduh dan.. ehm.. membuat aku rindu ketika mengingatnya. Dan tidak ada alasan untuk tidak menyukai gadis itu. Namun sayang, gadis itu hidup sebatang kara sejak kedua orangtuanya meninggal.
Hari ini cuaca di Seoul sangat bersahabat. Proses musim gugur yang sempurna membuat pesona keindahan alam di Seoul semakin terlihat indah. Daun-daun berwarna kemerahan seolah-olah menjadi bingkai cantik penghias kota yang penuh dengan kenangan.
Sebelum ku rebahkan tubuh di atas kasur empuk, pikiranku mulai melayang tepat di mana saat aku terbang menuju Indonesia. Ya dua tahun yang lalu…

#Flashback
   “Maafkan aku.. aku tak bermaksud menabrak orangtuamu seperti yang kau kira.. Aku tidak sengaja, dan.. aku benar-benar minta maaf, Nuna!” ujarku pada gadis yang sedang menangis di makam kedua orangtuanya. Gundukan tanah berwarna cokelat itu membuatku ngeri. Ingin cepat-cepat aku pergi dari tempat ini, tapi bagaimana lagi? Aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku yang memang benar-benar terjadi di luar dugaanku.
Sial!
Ini benar-benar tidak adil! Aku benci takdir Tuhan. Aku benci sekenario Tuhan tentang kehidupan! Umpatku panjang.
“Pergilah! A.. aku tak ingin bertemu denganmu lagi!” jawab gadis itu yang belum ku ketahui namanya. Dalam hitungan detik, hatiku luluh juga. Aku tidak tega melihat seorang perempuan menangis di hadapanku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memeluknya agar ia merasa nyaman? Ah jangan bodoh kau Hyo-Ri! Dia perempuan baik-baik. Coba lihat, ia mengenakan sebuah kain putih yang melilit di kepalanya. Ya, memang benar. Gadis seperti itu jarang ku temui di negaraku sendiri. Dia sungguh.. Ah.. ada apa denganku?
“Tidak. Aku tidak akan pergi sebelum kau benar-benar pulang bersamaku ke Seoul. Percayalah, aku orang baik! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku akan menebus seluruh kesalahanku padamu. Aku mohon..” Lalu, “Coba lihatlah ke belakang! Hanya ada bebrapa orang saja di sini! Bahkan saudaramu? Ia tidak kemari, bukan? Ayolah..” sambungku cepat-cepat dan memohon dengan sangat pada gadis itu.
Tapi apa daya? Gadis itu tetap bersikeras menyuruhku pergi. Tapi, hei! Aku memang orang baik. Aku tidak pernah melakukan hal-hal buruk kecuali berkelahi dengan Jung Dong-Wook—laki-laki ba**ngan di sekolahku.
Memang ini semua salahku. Aku tidak sengaja menabrak wanita tua sebaya dengan suami tercintanya ketika menyebrang jalan. Dan saat itu aku mengemudi dengan keadaan mabuk. Lalu.. oooh, baiklah, lupakan. Aku tak ingin membahas tragedi mengerikan itu lagi.
Kau tahu? Gadis itu sangat… baik. Sudah banyak orang yang ingin memasukkanku ke dalam penjara, tapi yang dilakukan gadis itu malah sebaliknya. Ia menyuruhku pergi dan tidak kembali. Dan pada saat itu aku tidak pergi. Aku bersembunyi di balik rumah pohon. Entah milik siapa, rumah pohon itu tak berpenghuni.
Diam-diam setiap malam, aku selalu mengunjungi rumahnya. Aku tidak pernah menyewa rumah susun atau homestay selama di sana. Jika malam tiba, aku hanya menggunakan sweaterku dan tidur di mobil. Tujuanku satu. Menjaga gadis itu.
#Flashback end

Sudah tiga tahun lamanya aku meninggalkan gadis itu sendirian. Tapi itu bukan kemauanku. Aku terpaksa pulang karena perintah gadis itu juga. Tapi dia sudah berjanji padaku akan berkunjung ke Seoul ketika ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Dan.. ya Tuhan.. aku sangat merindu—ah tidak!
Lagi dan lagi, kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Saat ini aku sedang menanti kehadiran gadis kecil itu. Ya, gadis berbola mata bening yang selalu ku rindukan. Eh? Ah, sial. Terucap juga ternyata.
Baiklah. Malam sudah larut. Ku pejamkan mataku dan akupun tertidur pulas. Dalam tidurku yang nyenyak ini aku memimpikan seorang bidadari datang padaku menggunakan kain suci yang selalu melilit di kepalanya. Tubuhnya indah, wajahnya cantik dan berseri. Namun, saat ku tatap matanya.. ternyata... “Tidaaaaaaakkk!!”
Brukk!  “Awwwhh!!”
“Gadis kecil itu! Dimana kau? Aku merindukanmu! Aku mencintaimu!” keringat dingin mengucur deras di keningku. Badanku gemetaran dan tubuhku panas-dingin tak menentu. Napasku tersenggal-senggal dan tak beraturan. Ada apa ini? Apa yang terjadi?

***

Aku menuliskan sebuah surat cantik tepat ketika aku berumur 26 tahun. Aku menulis surat itu karena aku mendapati kabar bahwa gadis cantik yang ku kagumi beberapa tahun lalu hendak kemari. Lebih tepatnya, ia akan terbang ke Seoul dan mengunjungiku. Sesuai janjinya.
Kalian tahu? Setahun sebelum aku berumur 26 tahun, aku sudah berpindah agama. Yaitu agama Islam. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat tepat di hadapan Ustadz Donghae yang kini berganti nama menjadi Ustadz Abdullah. Seorang muallaf namun kecerdasan mengenai agama Islam sudah kental dalam otaknya.
Bahkan aku sampai terkesima mendengar suara Ustadz Donghae ketika mengaji di Seoul Central Mosque. Sejuk sekali hati ini. Apalagi ketika aku mengetahui kalau sebentar lagi bulan Ramadan akan tiba. Aku sudah tidak sabar. Aku akan menanti bulan keberkahan itu. Aku juga sudah berusaha tidak melakukan hal-hal bodoh lagi. Seperti berkelahi dengan Jung Dong-Wook dan meminum alkohol. Itu semua ku lakukan karena dalam agama Islam melarangnya.
Seminggu sebelum kedatangan gadis itu, aku ingin memberinya surprise karena ia telah berhasil mendapatkan gelar doktornya di Universitas Indonesia dengan bantuan beasiswa. Dan dia sudah berjanji tidak akan marah padaku lagi apabila aku memberinya surprise ketika ia datang.

***

“Balon ini di letakkan dimana, Oppa1?” tanya adikku yang juga ikut membantuku. “Terserah, Yuu-Ri.”Jawabku singkat. Maklum, ini adalah hari di mana keberangkatan gadis kecil itu ke Bandara. Aku harus bersiap-siap.
Oppa! Kau sudah ditunggu orang-orang di luar sana! Apa kau tidak tahu? Cepat katakan di mana gadis itu?!” lagi-lagi adikku menggangguku. Uggh! 
Aku pun memutuskan untuk beranjak dari kamarku yang sudah ku tata rapi dan beraroma cukup harum. “Tunggu sebentar, Yuu-Ri, Sayang. Sebentar lagi. Percaya padaku, dia akan datang.” ujarku dengan menatap arloji di tanganku. Kenapa lama sekali gadis itu?
“Kau tidak bohong, Oppa?”  tanya Yuu-Ri lagi.
Anio2.
Entah kenapa, tubuhku merasa bergerak sendiri menuju halaman rumahku yang sudah sesak dipenuhi orang-orang berdatangan. Dan setelah kakiku benar-benar menginjakkan halaman rumah, ku lihat sosok perempuan yang sangat tidak asing lagi bagiku. Perempuan itu menggunakan kain putih yang melilit di kepalanya dan menggunakan baju yang sangat sederhana.Wajahnya cantik dan begitu berkharisma.
Gadis itu tersenyum menunjukkan lesung pipitnya ketika aku masih sibuk menyipitkan mata. Gadis itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan cepat ke arah gadis itu dan tepat ketika aku dan gadis itu bertatapan, mataku tidak berkedip sama sekali. Oh ya tuhan! Dia memang gadis kecil yang sudah lama ku rindukan! Sosok gadis bermata bening dan teduh!
“K—kau? Apakah kau yang du, dulu—“ ujarku gugup hingga tak sanggup menyusun kalimat dengan baik. Namun sialnya, aku tak dapat menyembunyikan rona merah di pipiku yang semakin memerah.
Oraenmanieyo3! Panggil aku Salma!” ujarnya riang sembari menatapku senang. Aku masih diam terpaku dan tak bisa mengatakan apa-apa. Mulutku terkunci. Dan.. oh, ingin sekali aku memeluknya, tapi tunggu, aku jadi ingat jikalau Islam melarang seorang kaum muslim berpelukan tanpa ada ikatan yang sah.
“Hei, kau mengenakan peci? Hahaha.. sejak kapan? Eh—ada apa di rumahmu? Kenapa kau tidak bilang padaku terlebih dahulu jika ada acara di rumahmu? Kan, aku bisa berangkat besok lusa?” aku menahan tawa ketika Salma memberikan pertanyaan konyol seperti itu. “Ini adalah surprise untukmu yang ku buat bersama Yuu-Ri, adikku.” ujarku mantap.
Tiba-tiba saja Yuu-Ri datang dari balik punggungku dan menyapa gadis itu manja, “Annyeonghaseyo4, Eonni5..” gadis itu tersentak kaget namun wajahnya terpancar sebuah kebahagiaan. “Annyeonghaseyo, wah, lucunya!” pujinya dengan mencubit pelan pipi adikku. Yuu-Ri tersenyum kecil kemudian berlari menemui teman-temannya lagi.
“Hyo-Ri? Ini untukku? Kau bersungguh-sungguh?” ujarnya dengan ekspresi malu dan masih tak percaya. Aku mendapati pipinya mulai bersemi merah. “Saranghae6..” ujarku pelan namun aku yakin, Salma pasti mendengarnya.
“Apa? Kau bicara padaku? Aku tidak dengar..”
Oh, baiklah. Aku harus mengumpulkan sejuta nyali untuk meladeni gadis ini. Ku lirik semua orang yang berada di belakangku, mereka tersenyum dan menyuruhku mengucapkan kalimat itu sekali lagi. Oh, malu sekali jika dilihat orang banyak seperti ini! Tapi baiklah, aku akan melakukannya sekali lagi—demi gadis bernama Salma ini.
Salmaaa, saranghae!!” teriakku keras dan tepukan tangan dari orang-orang langsung terdengar meriah di telingaku. Oh.. aku berhasil mengucapkannya. “Kau sudah dengar? Atau aku perlu mengucapkannya sekali lagi?”
Sal—“
“Cukup!” ujar gadis itu dengan tawa tertahan. “Aku dengar. Aku..aku juga mencintaimu..” ujarnya dengan malu dan memalingkan muka dariku. Aku pura-pura tidak dengar dan menyuruhnya mengucapkan sekali lagi. Aku tertawa gembira dalam hati. “Saranghae, Kim Hyo-Ri..”
Gomawoyo7.."
Dia masih teridam. Aku pun angkat bicara lagi. "Wahai Salma, maukah kau menjadi istriku? Menjadi pendamping setiaku di dunia dan di surga kelak?” kataku lembut. “Tenang saja, aku sudah memeluk agama Islam. Dan aku bersumpah akan menjadi suami yang baik di keluarga kita nanti..”
“Aku tidak bisa..”
“Maksudmu?” aku sedikit cemas dengan jawaban Salma. Apakah dia akan menolakku di depan orang banyak seperti ini? Oh, jangan.. biarlah aku menahan malu tapi sungguh.. aku benar-benar sangat mencintainya.
"A.. Aku tidak bisa menolakmu, Hyo-Ri!” seketika itu juga aku terlonjak kaget. Aku sangat bahagia. Aku langsung menyuruhnya masuk ke dalam rumah untuk ku persunting.  Namun ia menolak, “Dengan pakaian seperti ini?”
“Tidak masalah. Aku mencintaimu tulus. Bukan karena pakaianmu. Dan semoga Tuhan memberkahi pernikahan kita, wahai Salma..”
“Ah.. aku sangat bersyukur sekali. Semoga kau memang yang terbaik untukku Hyo-Ri..” jawabnya dengan meneteskan air mata. Ya, air mata kebahagiaan tentunya. Dan aku berharap dalam bulan Ramadan kali ini, aku bisa lebih mendekatkan diri pada YME bersama Istriku tercinta, Salma Rivanda. Ya, semoga.
 
____________________
Kakak laki-laki yang memanggil adik perempuan1
Tidak2
Lama tidak berjumpa3
Selamat pagi4
Kakak perempuan yang memanggil adik perempuan5
Aku cinta padamu6
Terima kasih7



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Goresan Tinta #12

Meniti Jalan Illahi Cantik, adalah satu kata yang cocok untuk mengilustrasikan mahakarya Tuhan yang ada pada dirinya; seorang gadis berwajah Eropa yang baru saja turun dari sebuah taksi. Matanya yang semi hijau, semakin terlihat sempurna akibat biasan sinar dari sang dewi bulan. Sesaat, gadis itu terdiam sejenak ketika angin semilir datang bergerilya. Syal yang sesekali menjuntai di lehernya, kembali ia rekatkan supaya udara malam tak begitu terasa. Setelah sepersekian detik mengamati keindahan kota New York, hati gadis itu kembali bergemuruh hebat, seperti merasakan desiran angin topan yang menerpanya secara tiba-tiba. Ya, ini adalah hari pertamanya ia menginjakkan kaki di salah satu kota Amerika, New York. Di mana tujuan utamanya adalah untuk mencari jati diri yang dulu sempat terkoyak tak tentu arah, kemudian hilang diterpa badai masalah yang mampu memupuskan segala asa. Kini , pikiran gadis itu hanya tertuju pada Samuel—kakak kandungnya—yang juga tinggal di Ameri...