Prince in the month of
Ramadan
“Hei, pemuda tampan. Kenapa kau selalu datang
menjemputku untuk pulang ke Seoul? Kenapa kau selalu mengikutiku? Kau khawatir
padaku? Untuk apa? Aku bersama Tuhan di sini. Kau tak perlu cemasi aku. Tenang
lah, jika sudah tiba waktunya, aku akan menyusulmu untuk tinggal bersamamu di
Seoul. Kau mengerti apa yang aku bicarakan? Sekarang pergilah..aku sudah
memaafkanmu.”
Kalimat
itu masih terngiang-ngiang jelas di telingaku. Mengingatkanku pada sosok gadis
kecil berumur tujuh belas tahun. Ya, gadis kecil itu berasal dari Indonesia. Tubuhnya
kecil tak terlalu tinggi. Dan
yang sangat ku suka dari gadis itu adalah bola matanya. Begitu teduh dan..
ehm.. membuat aku rindu ketika mengingatnya. Dan tidak ada alasan untuk tidak
menyukai gadis itu. Namun sayang, gadis itu hidup sebatang kara sejak kedua
orangtuanya meninggal.
Hari
ini cuaca di Seoul sangat bersahabat. Proses musim gugur yang sempurna membuat pesona
keindahan alam di Seoul semakin terlihat indah. Daun-daun berwarna kemerahan
seolah-olah menjadi bingkai cantik penghias kota yang penuh dengan kenangan.
Sebelum
ku rebahkan tubuh di atas kasur empuk, pikiranku mulai melayang tepat di mana saat aku terbang menuju
Indonesia. Ya dua tahun yang lalu…
#Flashback
“Maafkan aku.. aku tak bermaksud menabrak
orangtuamu seperti yang kau kira.. Aku tidak sengaja, dan.. aku benar-benar
minta maaf, Nuna!” ujarku pada gadis yang sedang menangis di makam kedua
orangtuanya. Gundukan tanah berwarna cokelat itu membuatku ngeri. Ingin
cepat-cepat aku pergi dari tempat ini, tapi bagaimana lagi? Aku harus
bertanggung jawab atas perbuatanku yang memang benar-benar terjadi di luar
dugaanku.
Sial!
Ini
benar-benar tidak adil! Aku benci takdir Tuhan. Aku benci sekenario Tuhan
tentang kehidupan! Umpatku panjang.
“Pergilah! A.. aku tak ingin bertemu denganmu lagi!” jawab gadis itu yang belum ku ketahui namanya. Dalam hitungan detik, hatiku luluh juga. Aku tidak tega melihat seorang perempuan menangis di hadapanku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memeluknya agar ia merasa nyaman? Ah jangan bodoh kau Hyo-Ri! Dia perempuan baik-baik. Coba lihat, ia mengenakan sebuah kain putih yang melilit di kepalanya. Ya, memang benar. Gadis seperti itu jarang ku temui di negaraku sendiri. Dia sungguh.. Ah.. ada apa denganku?
“Pergilah! A.. aku tak ingin bertemu denganmu lagi!” jawab gadis itu yang belum ku ketahui namanya. Dalam hitungan detik, hatiku luluh juga. Aku tidak tega melihat seorang perempuan menangis di hadapanku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memeluknya agar ia merasa nyaman? Ah jangan bodoh kau Hyo-Ri! Dia perempuan baik-baik. Coba lihat, ia mengenakan sebuah kain putih yang melilit di kepalanya. Ya, memang benar. Gadis seperti itu jarang ku temui di negaraku sendiri. Dia sungguh.. Ah.. ada apa denganku?
“Tidak.
Aku tidak akan pergi sebelum kau benar-benar pulang bersamaku ke Seoul.
Percayalah, aku orang baik! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku akan menebus
seluruh kesalahanku padamu. Aku mohon..” Lalu, “Coba lihatlah ke belakang!
Hanya ada bebrapa orang saja di sini! Bahkan saudaramu? Ia tidak kemari, bukan?
Ayolah..” sambungku cepat-cepat dan memohon dengan sangat pada gadis itu.
Tapi
apa daya? Gadis itu tetap bersikeras menyuruhku pergi. Tapi, hei! Aku memang
orang baik. Aku tidak pernah melakukan hal-hal buruk kecuali berkelahi dengan
Jung Dong-Wook—laki-laki ba**ngan di sekolahku.
Memang
ini semua salahku. Aku tidak sengaja menabrak wanita tua sebaya dengan suami
tercintanya ketika menyebrang jalan. Dan saat itu aku mengemudi dengan keadaan
mabuk. Lalu.. oooh, baiklah, lupakan. Aku tak ingin membahas tragedi mengerikan
itu lagi.
Kau
tahu? Gadis itu sangat… baik. Sudah banyak orang yang ingin memasukkanku ke
dalam penjara, tapi yang dilakukan gadis itu malah sebaliknya. Ia menyuruhku
pergi dan tidak kembali. Dan pada saat itu aku tidak pergi. Aku bersembunyi di
balik rumah pohon. Entah milik siapa, rumah pohon itu tak berpenghuni.
Diam-diam
setiap malam, aku selalu mengunjungi rumahnya. Aku tidak pernah menyewa rumah
susun atau homestay selama di sana. Jika malam tiba, aku hanya menggunakan sweaterku dan
tidur di mobil. Tujuanku satu. Menjaga gadis itu.
#Flashback end
Sudah tiga
tahun lamanya aku meninggalkan gadis itu sendirian. Tapi itu bukan kemauanku.
Aku terpaksa pulang karena perintah gadis itu juga. Tapi dia sudah berjanji
padaku akan berkunjung ke Seoul ketika ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Dan..
ya Tuhan.. aku sangat merindu—ah tidak!
Lagi
dan lagi, kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Saat ini aku sedang
menanti kehadiran gadis kecil itu. Ya, gadis berbola mata bening yang selalu ku
rindukan. Eh? Ah, sial. Terucap juga ternyata.
Baiklah.
Malam sudah larut. Ku pejamkan mataku dan akupun tertidur pulas. Dalam tidurku
yang nyenyak ini aku memimpikan seorang bidadari datang padaku menggunakan kain
suci yang selalu melilit di kepalanya. Tubuhnya indah, wajahnya cantik dan
berseri. Namun, saat ku tatap matanya.. ternyata... “Tidaaaaaaakkk!!”
Brukk! “Awwwhh!!”
“Gadis
kecil itu! Dimana kau? Aku merindukanmu! Aku mencintaimu!” keringat dingin
mengucur deras di keningku. Badanku gemetaran dan tubuhku panas-dingin tak
menentu. Napasku tersenggal-senggal dan tak beraturan. Ada apa ini? Apa yang
terjadi?
***
Aku menuliskan
sebuah surat cantik tepat ketika aku berumur 26 tahun. Aku menulis surat itu
karena aku mendapati kabar bahwa gadis cantik yang ku kagumi beberapa tahun
lalu hendak kemari. Lebih tepatnya, ia akan terbang ke Seoul dan mengunjungiku.
Sesuai janjinya.
Kalian
tahu? Setahun sebelum aku berumur 26 tahun, aku sudah berpindah agama. Yaitu
agama Islam. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat tepat di hadapan Ustadz
Donghae yang kini berganti nama menjadi Ustadz Abdullah. Seorang muallaf namun
kecerdasan mengenai agama Islam sudah kental dalam otaknya.
Bahkan
aku sampai terkesima mendengar suara Ustadz Donghae ketika mengaji di
Seoul Central Mosque. Sejuk sekali hati ini. Apalagi
ketika aku mengetahui kalau sebentar lagi bulan Ramadan akan tiba. Aku
sudah tidak sabar. Aku akan menanti bulan keberkahan itu. Aku juga sudah
berusaha tidak melakukan hal-hal bodoh lagi. Seperti berkelahi dengan Jung
Dong-Wook dan meminum alkohol. Itu semua ku lakukan karena dalam agama Islam
melarangnya.
Seminggu
sebelum kedatangan gadis itu, aku ingin memberinya surprise karena ia telah berhasil mendapatkan gelar doktornya di
Universitas Indonesia dengan bantuan beasiswa. Dan dia sudah berjanji tidak
akan marah padaku lagi apabila aku memberinya surprise ketika ia datang.
***
“Balon ini di
letakkan dimana, Oppa1?”
tanya adikku yang juga ikut membantuku. “Terserah, Yuu-Ri.”Jawabku singkat.
Maklum, ini adalah hari di mana keberangkatan gadis kecil itu ke Bandara. Aku
harus bersiap-siap.
“Oppa! Kau sudah ditunggu orang-orang di
luar sana! Apa kau tidak tahu? Cepat katakan di mana gadis itu?!” lagi-lagi adikku
menggangguku. Uggh!
Aku pun memutuskan untuk
beranjak dari kamarku yang sudah ku tata rapi dan beraroma cukup harum. “Tunggu
sebentar, Yuu-Ri, Sayang. Sebentar lagi. Percaya padaku, dia akan datang.”
ujarku dengan menatap arloji di tanganku. Kenapa lama sekali gadis itu?
“Kau
tidak bohong, Oppa?” tanya Yuu-Ri lagi.
“Anio2.”
“Anio2.”
Entah
kenapa, tubuhku merasa bergerak sendiri menuju halaman rumahku yang sudah sesak
dipenuhi orang-orang berdatangan. Dan setelah kakiku benar-benar menginjakkan
halaman rumah, ku lihat sosok perempuan yang sangat tidak asing lagi bagiku.
Perempuan itu menggunakan kain putih yang melilit di kepalanya dan menggunakan
baju yang sangat sederhana.Wajahnya cantik dan begitu berkharisma.
Gadis
itu tersenyum menunjukkan lesung pipitnya ketika aku masih sibuk menyipitkan
mata. Gadis itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan cepat ke arah
gadis itu dan tepat ketika aku dan gadis itu bertatapan, mataku tidak berkedip
sama sekali. Oh ya tuhan! Dia memang gadis kecil yang sudah lama ku rindukan!
Sosok gadis bermata bening dan teduh!
“K—kau?
Apakah kau yang du, dulu—“ ujarku gugup hingga tak sanggup menyusun kalimat dengan
baik. Namun sialnya, aku tak dapat menyembunyikan rona merah di pipiku yang
semakin memerah.
“Oraenmanieyo3! Panggil aku Salma!” ujarnya riang sembari menatapku senang. Aku masih
diam terpaku dan tak bisa mengatakan apa-apa. Mulutku terkunci. Dan.. oh, ingin
sekali aku memeluknya, tapi tunggu, aku jadi ingat jikalau Islam melarang seorang kaum muslim
berpelukan tanpa ada ikatan yang sah.
“Hei,
kau mengenakan peci? Hahaha.. sejak kapan? Eh—ada apa di rumahmu? Kenapa
kau tidak bilang padaku terlebih dahulu jika ada acara di rumahmu? Kan, aku
bisa berangkat besok lusa?” aku menahan tawa ketika Salma memberikan pertanyaan konyol seperti itu. “Ini adalah
surprise untukmu yang ku buat bersama
Yuu-Ri, adikku.” ujarku mantap.
Tiba-tiba
saja Yuu-Ri datang dari balik punggungku dan menyapa gadis itu manja, “Annyeonghaseyo4, Eonni5..”
gadis itu tersentak kaget namun wajahnya terpancar sebuah kebahagiaan. “Annyeonghaseyo, wah, lucunya!” pujinya
dengan mencubit pelan pipi adikku. Yuu-Ri tersenyum kecil kemudian berlari
menemui teman-temannya lagi.
“Hyo-Ri?
Ini untukku? Kau bersungguh-sungguh?” ujarnya dengan ekspresi malu dan masih
tak percaya. Aku mendapati pipinya mulai bersemi merah. “Saranghae6..” ujarku pelan namun aku yakin, Salma pasti mendengarnya.
“Apa?
Kau bicara padaku? Aku tidak dengar..”
Oh,
baiklah. Aku harus mengumpulkan sejuta nyali untuk meladeni gadis ini. Ku lirik
semua orang yang berada di belakangku, mereka tersenyum dan menyuruhku
mengucapkan kalimat itu sekali lagi. Oh, malu sekali jika dilihat orang banyak
seperti ini! Tapi baiklah, aku akan melakukannya sekali lagi—demi gadis bernama
Salma ini.
“Salmaaa, saranghae!!”
teriakku keras dan tepukan tangan dari orang-orang langsung terdengar meriah di
telingaku. Oh.. aku berhasil mengucapkannya. “Kau sudah dengar? Atau aku perlu
mengucapkannya sekali lagi?”
“Sal—“
“Cukup!”
ujar gadis itu dengan tawa tertahan. “Aku dengar. Aku..aku juga mencintaimu..”
ujarnya dengan malu dan memalingkan muka dariku. Aku pura-pura tidak dengar dan
menyuruhnya mengucapkan sekali lagi. Aku tertawa gembira dalam hati. “Saranghae, Kim Hyo-Ri..”
“Gomawoyo7.."
Dia masih teridam. Aku pun angkat bicara lagi. "Wahai Salma, maukah kau menjadi istriku? Menjadi pendamping setiaku di dunia dan di surga kelak?” kataku lembut. “Tenang saja, aku sudah memeluk agama Islam. Dan aku bersumpah akan menjadi suami yang baik di keluarga kita nanti..”
Dia masih teridam. Aku pun angkat bicara lagi. "Wahai Salma, maukah kau menjadi istriku? Menjadi pendamping setiaku di dunia dan di surga kelak?” kataku lembut. “Tenang saja, aku sudah memeluk agama Islam. Dan aku bersumpah akan menjadi suami yang baik di keluarga kita nanti..”
“Aku
tidak bisa..”
“Maksudmu?”
aku sedikit cemas dengan jawaban Salma. Apakah dia akan menolakku di depan orang banyak
seperti ini? Oh, jangan.. biarlah aku menahan malu tapi sungguh.. aku benar-benar sangat
mencintainya.
"A.. Aku tidak bisa menolakmu, Hyo-Ri!” seketika itu juga aku terlonjak kaget. Aku sangat bahagia. Aku langsung menyuruhnya masuk ke dalam rumah untuk ku persunting. Namun ia menolak, “Dengan pakaian seperti ini?”
"A.. Aku tidak bisa menolakmu, Hyo-Ri!” seketika itu juga aku terlonjak kaget. Aku sangat bahagia. Aku langsung menyuruhnya masuk ke dalam rumah untuk ku persunting. Namun ia menolak, “Dengan pakaian seperti ini?”
“Tidak
masalah. Aku mencintaimu tulus. Bukan karena pakaianmu. Dan semoga Tuhan
memberkahi pernikahan kita, wahai Salma..”
“Ah..
aku sangat bersyukur sekali. Semoga kau memang yang terbaik untukku Hyo-Ri..”
jawabnya dengan meneteskan air mata. Ya, air mata kebahagiaan tentunya. Dan aku
berharap dalam bulan Ramadan kali ini, aku bisa lebih mendekatkan diri pada
YME bersama Istriku tercinta, Salma Rivanda. Ya, semoga.
Kakak laki-laki
yang memanggil adik perempuan1
Tidak2
Lama tidak
berjumpa3
Selamat pagi4
Kakak perempuan
yang memanggil adik perempuan5
Aku cinta padamu6
Terima kasih7
Komentar